Cerpen
-Tentang Sebuah Nama
Kala
nada-nada manis telah bersenandung, dari riak-riak kecil kebahagian. Itu
disebabkan..... kamu.
-----
Semua
itu berawal, ketika senyummu menyapa lewat manik mata yang sejak saat itu
selalu kudamba-damba.
"Mau
makan apa fy?" Kata Yeyen, sahabatku. "Ifyyyy, mau makan apa?"
Ulangnya saat aku masih sibuk menatap senyum dan matanya. Ia mengalihkan muka,
aku mundur dari tempatku tadi, menatap yeyen dan tersenyum.
"Makan
apa aja deh, yang kamu pesan. Aku mau! Hehehe." Yeyen mengernyit bingung
sambil mengangguk-angguk. Aku menuju meja yang berada di kantin itu, duduk
menunggu yeyen memesan makanan. Kuperhatikan, ia berjalan kearahku lalu duduk
di meja tepat di depan mejaku. Fokusku beralih pada handphone yang sebenarnya
tak ada notifikasi apapun saat ia menoleh menatapku. Dan, sejak saat itulah aku
mulai mencari-cari tahu tentang dia.
-----
Kala
hati berbisik, menyenandungkan irama, mendengungkan namamu di telinga.
Aku
berjalan untuk mengikuti kelas pagi, saat kulihat ia turun dari mobil dan
berjalan tepat didepanku. Ia masuk ke kelas yang sama denganku lalu duduk di
barisan ketiga, kulihat ia dengan headset menggantung di telinga dan mata
terpejam mengikuti irama lagu yang terputar di ponselnya.
"Ifyyyy.
Aku duduk disitu ya?" Yeyen yang baru saja masuk kelas langsung berjalan
kearahku, aku mengangguk pelan lalu mengalihkan pandanganku kearah ponsel.
Terkadang mataku mencuri lirik pada lelaki itu. Matanya masih terpejam, raut
wajahnya keluh. Pikiranku berkecamuk. Ada apa dengannya?
"Derio..."
Fanny menjerit dari depan pintu, aku menoleh saat ia membuka matanya dan
mengernyitkan mata. Aku tersenyum sekilas.
'Derio.
Derio. Derio. Derio. Derio. Derio.'
Namanya
bermain-main di pikiranku. Senyum dan matanya terbayang-bayang di anganku. Tapi
hari itu, tak kulihat senyum dan matanya tertuju padaku.
-----
Kala
irama telah memainkan nada-nada, aku tak bisa lupa bagaimana caramu menyapa.
Hari
ini, tepat 2 bulan sejak aku mengagumi senyum dan matanya. Aku memasuki kelas
yang telah sesak oleh mahasiswa, ternyata perkuliahan bergabung dengan kelas
sebelah. Aku menoleh mencari-cari tempat kosong, saat kulihat tepat di depan
Derio ada 2 bangku kosong, mataku mengernyit. Haruskah aku duduk tepat di
depannya? Menahan malu dan tingkah? Ah sudahlah. Aku melangkahkan kaki,
mendekat kearahnya yang saat itu sedang mengobrol seru dengan teman-teman yang
lain. Aku duduk dengan diam lalu berpura-pura sibuk dengan ponselku. Yeyen
kemanasih? Buruan datang dong. Ugh!
"Ifyyyy!"
Aku menoleh ke belakang saat kudengar ada yang memanggilku. Eliza atau yang
lebih sering disapa Icha, tersenyum kearahku. "Itu buku bahasa Indonesia,
punyo kau?" (Itu buku bahasa Indonesia, punya kamu?) Aku menoleh melihat
buku yang berada di atas mejaku. Lalu mengangguk. Kurasakan Rio sedang
menatapku. "Aku boleh liat dak?" (Aku boleh lihat nggak?) Eliza
berkata. Aku segera menyerahkan buku itu sebelum keringat dingin meluncur dari
dahiku.
'Oh
my God, Ify! Bego banget. Kamu harusnya biasa aja dong. Just Derio, okay?' Aku
mencaci dalam hati. Bego banget kalau sampai Rio tau aku mati kutu hanya karena
dia.
"Pikachu..."
Tepukan di bahu serta panggilan itu membuatku menolehkan kepala. Saat tiba-tiba
Derio menyerahkan buku yang dipinjam oleh Icha tadi.
"Kamu
panggil aku apa?" Aku bertanya sambil mengernyit. Ia tertawa mendengar
pertanyaanku.
"Pikachu..."
Katanya santai. Aku makin mengernyit.
"Pikachu?
Apaan sih! Hahaha." Saat itu, aku tak tau kenapa, aku ingin selalu bisa
berbicara sedekat ini dengannya. Dan hari itu, hari pertama aku, dia, saling
tertawa.
----
Kala
matahari terbenam, dan bulan muncul menerangi malam, aku masih sama.
Sejak
hari itu, aku dan Rio menjadi teman. Ia sering menyapaku lewat tatap mata dan
senyumnya. Tetapi, kedekatanku dan Rio masih belum seperti kedekatan Rio dan Fanny
serta teman-temannya. Aku mengerti hal itu, tentu saja karena Fanny sudah sejak
dulu mengenal Rio daripada aku. Terkadang, aku iri melihat kedekatan mereka.
Seringkali kulihat Rio memilih duduk atau bergabung dengan mereka saat kelas
belum di mulai. Aku tersenyum kecut.
"Kenal
sama kamu aja, aku sudah merasa beruntung kok, Yo." Aku bergumam pelan
saat kulihat Fanny, Gladys dan Phely berjalan kearah Rio.
Aku
mengalihkan muka kearah pintu kelas. Kulihat Yeyen sedang tersenyum dan
berjalan kearahku. "Ngapo sih, Fy? Lemes nian nah?!" (Kenapa sih, Fy?
Lemas banget deh?!) Yeyen yang memang bawel langsung merangkulku. Aku
tersenyum.
"Aku
nggak apa-apa, Yen." Yeyen tersenyum, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam
tasnya. Ia menyodorkan susu kotak kecil padaku. Aku tersenyum lalu menerimanya.
"Aku
tadi ketemu sama kak Reza di depan, dia ganteng banget yaampun!" Yeyen
memulai cerita. Sahabatku satu ini memang menyukai seorang kakak tingkat dari
fakultas teknik. Aku menatap penuh minat saat ia menceritakan pertemuannya
dengan sang idaman. "Tau dak, Fy? Dio mintak nomorku! Aaaa!" (Tau
nggak, Fy? Dia minta nomor aku!) Yeyen menjerit heboh. Aku tertawa melihatnya.
"Caknyo,
kagek aku dak jomblo lagi nah, Fy. Hahahaha. Kau cepat cari lah!"
(Sepertinya, nanti aku nggak jomblo lagi deh, Fy. Kamu cepat cari lah!) Yeyen
memeletkan lidahnya kepadaku. Aku langsung menoleh kearah Rio yang tadi masih
asik mengobrol dengan Fanny dan teman-temannya, ia melihat kearahku dan
tersenyum manis dengan matanya menatapku, jantungku berdetak cepat, aku balas
tersenyum dan mengalihkan muka salah tingkah.
-----
Kala
waktu berputar membawa hari, aku pernah berharap ia berhenti, saat kamu disini.
Lagu
milik Asher Book berjudul Try mengalun memenuhi ruang kamarku. Aku masih
menggeliat diatas kasur empukku. Hari ini, kuliah libur. Ponselku bergetar,
kulihat nama Yeyen muncul di layar depan ponselku.
"Halo.
Pagi, Yen." Sapaku pada Yeyen. Yeyen membalas sapaanku.
"Pasti
masih stuck di kasur deh? Iyaa kan? Hahahaha." Yeyen tertawa, aku ikut
tertawa.
"Kenapa?
Tumben deh pagi-pagi udah nelpon. Pasti lagi bahagia?" Aku berkata sambil
memeluk guling.
"Ih,
Ify!! Tau bae sih kalo aku lagi senang nian. Makin cinto nah aku samo kau!
Hahaha" (Tau aja sih kalau aku lagi bahagia banget. Makin cinta deh aku sama
kamu!) Yeyen cekikikan di ujung sana. Aku tersenyum, meskipun aku mengenal
Yeyen saat kami masih mahasiswi baru di salah satu perguruan tinggi di
Palembang, 8 bulan yang lalu, tetapi ia adalah sahabat terbaikku disini. Di
kota orang ini. Ya, aku memang bukan berasal dari Palembang, melainkan dari
Lampung. Hidup mandiri di rumah orangtuaku disini dan jauh dari orangtua,
membuatku merasa beruntung mengenal Yeyen. Ia bercerita panjang lebar mengenai
kedekatannya dengan kak Reza.
"Kagek
malam, dio nak ngajak aku bejalan nah, Fy!" (Nanti malam, dia mau ajak aku
pergi nih, Fy!) Yeyen berteriak-teriak senang. Aku ikut heboh mendengarnya.
"Siap-siap
aja PJ ya, Yeyen kusayang! Hahaha." Aku tertawa heboh. Tiba-tiba ponselku
yang lain berbunyi, notifikasi dari BlackBerry Messenger.
'Linko
Derio has invited you.'
"What?!
Aaaaaaaakkkkk hahahahaha." Aku tertawa heboh dan guling-gulingan di kasur.
Segera kuterima request dari Rio.
"Fy,
are you okay?". Yeyen bertanya bingung.
"Iyo.
Nyak wawai-wawai gawoh! Hahaha" (Iya. Saya baik-baik saja!) Aku tertawa
saat mendengar nada bingung Yeyen disana. Ia pasti tak mengerti aku berbicara
apa, karena aku memakai bahasa daerahku, Lampung. "Yen? Are you
okay?" Aku cekikikan.
"Hah.
Hehehe iya, Fy. Kamu ngomong apa tadi? Aku nggak ngerti." Yeyen berkata
pelan. Aku tertawa mendengarnya.
"Sudah
lah, Yen. Mending kamu siap-siap aja untuk nanti malam. Bye!" Aku menutup
sambungan telpon. Mataku beralih pada recent updates bbm ku. Kulihat Rio
mengganti display picturenya.
"OMG!
You kill me, Yo!" Aku menjerit heboh. ----
Kala
mata menatap. Kamu tersenyum lekat. Aku berdetak cepat.
"Pikachuuu..."
Aku menoleh lalu tersenyum. Terlihat Rio berjalan kearah bangku, sambil
menatapku.
"Apansih,
Yo. Hahaha" aku tertawa sambil balas menatapnya. Ia menyapaku pagi ini.
Hampir tiap kali memanggilku, ia selalu menyebutku dengan sebutannya itu. Aku
tak tau apa maksudnya memanggilku dengan sebutan itu. Padahal, namaku sama
sekali tidak mirip dengan nama kartun yang ia berikan padaku. Ah, Rio.
Aku
mengalihkan pandangan kearah ponselku, membaca private chat antara aku dan
sahabatku yang berada di Lampung, Rizkyatul atau sering kupanggil Tul. Hanya
Tul yang tau semua tentang perasaanku pada Rio. Yeyen pun bahkan tak tau apapun
jika aku menyukai salah satu diantara teman kelas kami itu. Aku tersenyum saat
membaca tulisan Tul di chat kami. Gadis itu, memang sahabat yang selalu tau
apapun tentangku sampai saat ini. Sayangnya, aku dan ia terpisah karena berbeda
perguruan tinggi.
"Pikachu!
Masih pagi, senyum-senyum aja dari tadi." Rio tiba-tiba berkata dari
bangkunya. Aku menoleh kearahnya yang berada tak jauh dariku.
'Are
you kidding me? Setelah sekian lama, baru kali ini Rio mau bicara panjang lebar
padaku!' Aku membisik dalam hati. Hatiku berdebar. Tak kujawab candaan Rio
tadi. Aku, salah tingkah.
----
Kala
sinar matahari menghasilkan peluh. Mata dan senyummu, menyejukkanku.
Aku
berjalan santai sambil menggerutu sebal menuju kantin. Yeyen yang langsung
meninggalkanku sejak perkuliahan usai tadi, ternyata sudah duduk manis dengan
semangkuk tekwan dan es kacang merah khas palembang itu, di hadapannya.
"Ify!
Ngapo cemberut bae nah muka tuh?" (Ify, kenapa cemberut aja deh wajahnya?)
Intan, teman yang juga sekelas denganku, menyapa. Aku tersenyum kecut pada
Intan yang sedang asik duduk di meja ujung kantin bersama Emeur, Ines, Nazira,
Ita dan Isti. Mereka berenam itu, nggak pernah terpisahkan deh. Selalu berenam
kemanapun. Ohiya, mereka juga dekat dengan Rio.
"Bangik,
Yen? Bangik?!" (Enak, Yen? Enak?!) Caciku menggunkan bahasa Lampung pada
Yeyen. Gadis itu hanya nyengir tanpa rasa bersalah.
"Hehe,
Ify mau makan apa? Aku pesanin deh." Aku menggeleng cepat. Pandanganku
tertuju pada Rio dan seorang temannya yang kuketahui namanya, Arif. Ia sedang
mengedarkan pandangannya ke penjuru kantin yang sesak dengan mahasiswa. Matanya
menatapku dan tersenyum. Ia sedikit berbincang dengan Arif lalu berjalan
kearahku. Mau apa dia?
"Hai.
Pikachu sudah makan?" Tanyanya padaku. Aku hanya tersenyum lalu
menggeleng. "Boleh aku duduk disini?" Aku segera mengiyakan. Ia duduk
tepat didepanku, dan Arif duduk tepat di depan Yeyen. Yeyen mengernyit.
"Pikachu?"
Tanya Yeyen bingung. Rio menaikan alis matanya dan tersenyum pada Yeyen. Rio
menyeruput minumannya, lalu menatapku.
"Kagek
malem, ikut aku ke benteng kuto besak galak dak? Ado pameran disano. Kalo malem
jugo pemandangannyo bagus. Apolagi latar belakangnyo jembatan Ampera,
warno-warni lampunyo, keren nian. Ado restoran terapung jugo. Belum dikatoke
jadi wong Palembang, kalo belum pernah ke bkb malem-malem. Hahaha. Galak dak,
Pikachu?" (Nanti malam, ikut aku ke benteng kuto besak mau nggak? Ada
pameran disana. Kalau malam juga pemandangannya bagus. Apalagi latar
belakangnya jembatan Ampera, warna-warni lampunya, keren banget. Ada restoran
terapung juga. Belum dikatakan jadi orang Palembang, kalau belum pernah ke bkb
malam-malam. Hahahaha. Mau nggak, Pikachu?) Kata Rio, to the point. Aku melongo
dibuatnya. Yeyen juga ikutan melongo.
"Ma..
Maksudnya, Yo? Kamu ajak aku jalan?" Tanyaku terbata-bata. Wajar dong, aku
kan nggak mengira Rio bakalan mengajakku jalan seperti ini. Ia mengangguk.
"Aku
kan pengen ngenalin kota kelahiranku, ke kamu. Hehe." Aku tersenyum
mendengar jawabannya. "Besok-besok, aku ajak kamu ke taman wisata alam
Punti Kayu deh. Terus ke taman pelangi, ke pulau kemaro, ke gelora sriwijaya.
Hehe." Aku makin melongo mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Rio.
"Kamu
baik-baik aja kan, Yo?" Tanyaku masih bingung. Ia mengangguk mantap.
"Okay. Aku mau. Makasih ya, Yo!" Jawabku. "Hehehe. Tapi, suatu
saat kalau aku ke Lampung, kamu juga harus ajak aku jalan-jalan yaa!" Aku
tertawa mendengarnya, ternyata ada maunya juga. Hihi. Hari itu, hari pertama
kulihat sosok yang berbeda dalam diri Linko Derio. Ia jadi lebih... Manis.
-----
Kala
kanvas dan kuas bertemu, akankah menjadi lukisan yang memiliki makna?
Setelah
sekitar 2 bulan yang lalu Rio mengajakku ke benteng kuto besak. Hari ini,
pagi-pagi sekali ia sudah mengirimkan sebuah pesan suara melalui chat bbm. Aku
yang baru saja terbangun langsung berteriak kegirangan saat mendengar pesan
suara Rio berisi ucapan selamat pagi dan mengajakku pergi. Memang, sejak hari
itu, hubungan kami menjadi baik. Ia sering mengirimkan chat hanya untuk sekedar
bertanya masalah tugas atau apapun. Aku langsung membalas ucapannya. Selang
berapa lama, layar ponselku berubah menjadi panggilan dengan nama Rio.
"Ha..
Haloo, Yo?" Sapaku pelan.
"Hai,
Pikachu! Baru bangun ya? Siap-siap ya. Nanti aku jemput. See you!" Aku
mengangguk, padahal jelas saja Rio tak bisa melihat gerak tubuhku. Kuiyakan
perkataannya lalu setelah sambungan telpon terputus, aku meloncat menuju kamar
mandi. Aku siap!
Satu
jam berlalu, aku telah duduk diteras rumah, menunggu kedatangan Rio. Taklama,
terlihat mobil Honda Jazz biru berhenti di halaman depan rumahku. Rio
tersenyum. Aku berlari kecil arahnya.
"Selamat
tukuk, Pikachu.." (Selamat pagi) Rio menyapaku menggunakan bahasa Lampung.
Aku tertawa.
"Kamu
belajar dimana, Yo?" Aku berjalan kearah pintu mobil sebelah kiri lalu
masuk.
"Belajar..
Dihati kamu. Hahahaha bercanda. Aku iseng aja cari di google hehe." Rio
tertawa sambil menggaruk tengkuknya. Ia mulai memajukan mobilnya, melintasi
hiruk pikuk kota Palembang.
15
menit kemudian, kami sampai di pinggir sungai musi. Rio memarkirkan mobilnya
dan mengajakku turun.
"Kita
mau ke pulau kemaro, harus nyebrang pakai perahu kecil itu. Yukk!" Rio
menarikku, tangannya mengenggam tangangku menuju penyewaan transportasi air
itu. Aku duduk disamping Rio. Mataku menelaah sungai musi. Baru pertama kali
bagiku, naik perahu melintasi sungai musi. Dan, Rio yang pertama kali
mengajakku. I'm so happy because of you, Yo!.
Rio
mengajakku turun saat kami tiba di pulau kemaro. Ternyata di pulau kemaro
terdapat sebuah vihara. Di sini juga ditemukan sebuah makam yang merupakan
makam dari seorang putri Palembang. Putri ini mempunyai cerita tersendiri,
yaitu dia menikah dengan anak raja dari China dengan mas kawin berupa 9 guci
emas, namun pada akhirnya pasangan tersebut menerjunkan diri ke sungai dan
tenggelam. Dan sekarang, aku dan Rio sudah berdiri tepat didepan sebuah pohon.
"Mau
ngapain, Yo?" Tanyaku pada Rio. Rio tersenyum.
"Ngukir
nama." Rio berjalan kearah pohon itu dan mulai mengukir. Aku yang tak tau
apapun, hanya diam memperhatikan Rio. Ia berdiri dan tersenyum puas melihat
hasil ukirannya.
"Pikachu
dan Derio." Aku membaca ukiran yang dibuat Rio, lalu mengernyit.
"Ini
pohon cinta. Orang percaya bila sepasang kekasih mengukir namanya di pohon
cinta ini, maka hubungan cinta mereka akan berlanjut sampai dengan pernikahan.
Hehe" jawab Rio polos. Aku melongo.
"Sepasang
kekasih? Pernikahan?" Tanyaku bingung. "Pikachu, itu aku kan?"
Tanyaku. Rio tertawa melihat ekspresiku.
"Siapa
lagi?" Katanya santai. Aku terdiam mencerna. Kurasakan pipiku memanas. Rio
apaan sih! Hahaha. Aku pura-pura berbalik arah dan melihat-lihat yang lain. Rio
mengejarku. "Hehehe. Kan aku iseng. Kalau kenyataan ya bagus. Kalau
enggak, semoga aja jadi iya."
Aku
yang berada disampingnya, makin menjadi salah tingkah. Bisa banget sih lelaki
satu ini. Ugh.
-----
Kala
lirik telah tertulis, dan nada-nada telah dimainkan, akankah menjadi sebuah
lagu yang utuh?
Tak
terasa. Sudah memasuki 6 semester perkuliahanku disini. Hubunganku dan Rio
makin menjadi baik. Hampir setiap hari ia menyapaku dan tersenyum padaku.
Bahkan hampir setiap weekend, Rio selalu mengajakku pergi hanya untuk sekedar
cuci mata, katanya. Tetapi, kami tidak terikat sebuah hubungan. Hanya sebatas
teman dekat. Ya, entahlah. Meski perasaanku pada Rio masih sama, aku baik-baik
saja walau tak ada status diantara kami.
"Pikachuuuuuu!"
Panggilnya saat aku sedang berjalan menuju kelas. Oh ya, ia masih saja dengan
panggilannya itu. Bahkan belum pernah sama sekali aku mendengarnya menyebut
nama asliku. Sejujurnya, aku ingin tau alasan Rio memanggilku Pikachu. Aku
melambaikan tangan padanya.
"Fy!
Antarin aku sebentar ke parkiran. Mau ketemu kak Reza. Please. Sebentar
aja." Tiba-tiba Yeyen menarikku cepat. Aku hanya berjalan mengikutinya.
Gadis itu tersenyum menemui kak Reza. Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari
dalam tasnya, yang kukira itu adalah sebuah kotak dengan pita diatasnya. Yeyen
menjerit senang, Reza mencubit pipi Yeyen gemas. Mereka memang cocok, hubungan
yang sudah terjalin 2 tahun lebih itu juga jarang bertengkar. Ughhh, aku jadi
iri..
Aku
berjalan-jalan disekitar parkir kampus, meninggalkan Yeyen yang masih asyik
dengan kekasihnya. Aku duduk di bangku dibalik pohon lebat yang memanjang
seperti pagar, dan terdapat bangku di kedua sisinya. Saat tiba-tiba kudengar.
"Rio...."
Suara seorang gadis dari balik tempatku duduk. "2 tahun lebih kamu dekat
dengan Ify. 2 tahun kamu panggil dia Pikachu. 2 tahun kamu nggak ada status
dengan dia..." Lanjut gadis itu.
"Terus
kenapa, Cha?" Jawab seorang lelaki yang kutahu itu suara Rio.
"Jangan
jadiin Ify pelarian, Yo! Pikachu. Iya Pikachu yang sering kamu panggil untuk
Ify. Itu kan panggilan sayang kamu ke Putri dulu!" Deg... Aku terdiam.
Pelarian? Putri? Maksudnya apa?
"Jangan
karena Ify mirip dengan Putri, kamu jadi manfaatin dia dan aplikasikan dia
sebagai sosok Putri, Yo. Sadar! Putri sudah lama pergi. Sudah 4 tahun, Yo! Aku
yakin sahabatku pasti nggak mau liat kamu kaya gini. Tolong, Yo. Anggap Ify itu
adalah Ify. Bukan Putri!" Lanjut gadis itu. Aku terdiam mendengar semua
penuturan gadis itu. Aku kenal suaranya, itu Eliza, Icha.
"Terserah
aku, Cha! Setidaknya saat aku dekat dengan dia. Aku selalu ngerasa Putri masih
ada. Jangan atur-atur aku!" Rio mulai menaikan nada suaranya.
"Yo
sadar! Pikachu itu Putri. Bukan Ify. Jangan panggil Ify dengan sebutan itu
lagi. Anggap Ify sebagai Ify, bukan Putri!" Icha memelankan suaranya,
kudengar isak tangis gadis itu. Kuduga, Icha adalah sahabat dekat Putri. Aku
tertawa tanpa suara. Jadi, alasan Rio memanggilku dengan sebutannya itu, karena
aku ini mirip kekasihnya dulu yang sekarang telah pergi. Jadi, selama ini, Rio
nggak pernah benar-benar lihat aku sebagai Ify.
Aku
berdiri, hendak melangkahkan kakiku sampai tiba-tiba Yeyen menjerit
memanggilku.
"IFYY.
Aku cariin juga. Kemana aja sih!" Teriaknya keras, dan kuyakin Rio yang
berada tepat dibelakangku, hanya berbatas pohon lebat dapat mendengar teriakan
Yeyen. Aku berjalan menuju Yeyen. Dapat kudengar Rio memanggilku.
"Pikachu!!"
Aku berjalan cepat menarik Yeyen. Sejak awal aku salah, memuja dan mendamba
senyum dan matamu, Yo.
-----
Kala
angin berhembus, membawa sejuta kepingan halus, ini takkan sama lagi.
Sejak
beberapa bulan yang lalu kejadian itu. Aku selalu menghindar dari Rio. Semua
telpon, sms, chat aku abaikan. Sengaja aku atur ulang jadwal kuliahku, agar tak
sekelas dengan Rio. Berbagai cara ia lakukan agar bisa berbicara langsung
padaku. Selalu aku gagalkan. Ini hati, Yo. Bukan mainan.
Aku
sedang duduk di taman kampus, menunggu Yeyen. Hari ini adalah hari pertama di
semester 7. Memasuki tahun keempat aku berada disini. 2 tahun lebih, aku dekat
dengan Rio. 2 tahun lebih itu juga aku menjadi pelarian seseorang yang selama
ini kudamba. Aku mengingat saat Rio mengukir nama di pohon cinta pulau kemaro.
Pikachu? Pikachu itu aku atau Putri, Yo? Hahaha. Ternyata itu alasannya.
Sakitnya tuh, disini. Di dalam hatiku.
"Pikachu.."
Rio tiba-tiba duduk disebelahku. Aku meraih tasku ingin beranjak. Rio menahan
tanganku. "Dengarin, sebentar aja. Aku mau menjelaskan semuanya.
Please." Aku melepaskan tangan Rio dan menunduk.
"Apa
yang kamu dengar waktu itu, memang nggak sepenuhnya salah. Benar yang Icha
katakan waktu itu. Benar aku menganggap kamu mirip dengan Putri. Tapi nggak
benar jika aku menjadikan kamu pelarian. Please, Putri sudah lama pergi, dia
juga sudah lama pergi dari hatiku. Aku mohon, percaya sama aku Leifya
Deriza...." Rio menyebutkan nama lengkapku. Pertama kali kudengar ia
menyebutkannya. Setetes air mata jatuh.
"Tolong
percaya aku. Soal panggilan Pikachu itu karena memang aku menyukainya. Aku
memanggil seseorang yang kusayang dengan sebutan itu. Percaya aku,
Pikachu..." Rio meraih tanganku. Aku membiarkannya. "Please, aku
nggak mau jauh dari kamu. Bisa kan kita dekat seperti dulu lagi?"
Lanjutnya. Aku tersenyum. Kamu kira mudah, Yo?
"Nggak
bisa, Yo. Semua cukup sampai sini. Dari awal, aku yang salah, mendambamu."
Aku berkata pelan dan meninggalkan Rio.
-----
Kala
musim terus berganti, membawa dingin menjadi terik. Aku, berhenti.
Hubunganku
dan Rio benar-benar putus. Aku tak tau tentang kabarnya sama sekali. Meskipun
pernah beberapa kali bertemu, aku selalu menghindar, menjauh dan berusaha
menghilangkan semua pikiranku tentangnya. Apapun itu. Beberapa bulan belakangan
ini, aku disibukkan dengan urusan skripsi. Dan sekarang, aku sedang menunggu
hari dimana ujian skripsi itu akan dilaksanakan. Rasanya, aku ingin cepat-cepat
pergi dari kota ini, kembali ke kampung halamanku, Lampung.
"Ifyku
sayang. Kagek kalo kau balek ke Lampung. Jangan lupo samo aku!! Aydah, sedih
nian laju aku nih nak bepisah dengan kau." (Ifyku sayang. Nanti kalau kamu
pulang ke Lampung. Jangan lupa sama aku!! Aduh, sedih banget aku ini mau
berpisah sama kamu.) Yeyen memelukku erat. Sekarang aku sedang berada di kamar
Yeyen. Gadis itu juga akan melaksanakan ujian skripsi beberapa hari setelah
aku. Hubungannya dengan kak Reza pun masih berlanjut meskipun sekarang kak Reza
sudah bekerja.
"Lebay
deh, Yen. Nanti makanya kamu ikut aku ke Lampung. Janji deh aku ajak
jalan-jalan. Ke pantai pasir putih? Atau ke pantai mutun? Atau mau ke taman way
kambas? Kemana deh sebutin. Aku anterin hahahaha." Aku merangkul Yeyen.
"Janji?"
Aku mengangguk. "Aku mau ke mana itu Fy, yang ada lumba-lumba nyaaa
itu!" Yeyen semangat.
"Ohhh
teluk kiluan? Iya iya kamu nanti aku ajak kesana deh. Lumba-lumbanya keren
banget, Yen. Apalagi waktu sunshine atau sunset. Keren!" Aku menjawab
pertanyaan yeyen.
"Iyaa,
Fy! Terus aku mau foto di menara siger yang ada di bakauheni itu. Keren kan ya
foto di ikon gerbang masuk pulau sumatra! Aaaahh Ify aku mau ke Lampung! Terus
nonton atraksi gajah di way kambas. Nyebrang ke pulau tangkil di pantai mutun.
Naik banana boat. Hahaha." Yeyen tertawa lalu memelukku.
"Hahaha
gampang, Yen. Makanya kamu ikut aku ke Lampung deh." Jawabku.
Kami
berdua tertawa, lalu berbaring diatas kasur Yeyen. Mengulang kembali cerita 4
tahun yang lalu saat kami baru saling kenal. Tak terasa, waktu berjalan begitu
cepat. Sebentar lagi, aku akan meninggalkan kota ini. Meninggalkan semua
kenangan indah selama 4 tahun disini. Meninggalkan pengalaman yang takkan
pernah kulupa. Ah, terima kasih Yeyen, kamu menjadi satu-satunya yang aku cari
disini, saat aku kehilangan arah. Terima kasih Palembang, untuk pengalaman
indah selama 4 tahun ini. Dan.. Terima kasih, Rio, untuk semua kebahagiaan dan
kesakitan ini. Suatu saat aku akan kembali, ke kota ini, kota pempek, venice of
the East. Bumi sriwijaya. Aku mencintai kalian.
-----
Kala
kesunyian menjadi ramai, kala gelap menjadi terang, saat itulah aku kembali.
Aku
melangkahkan kakiku keluar dari bandara Raden Inten, Lampung.
"Lampung!
I'm back!!!!" Teriakku. Segera kupanggil taksi dan menuju bandar lampung.
Aku rindu papa, aku rindu mama, aku rindu adikku.
Setengah
jam perjalanan. Aku sampai di rumahku. Rumah nyamanku. Tempat aku dibesarkan
mama dan papa.
"Assalamualaikum.
Papa, mama.. Atu mulang.." (Papa, mama, kakak pulang) Aku berlari masuk
kedalam rumahku, saat kulihat pintu rumah terbuka lebar. Kulihat orangtua dan
adikku sedang duduk santai di ruang tv.
"Atu,
jamow sapa?" (Kakak, sama siapa?) Mamaku segera berlari memelukku. Aku
memeluk mama erat, lalu bergantian dengan papa dan adikku.
"Atu
(kakak) sendirian ma. Sengaja nggak kasih tau mama papa biar kejutan!
Hehehehe" aku memeluk mamaku lagi. Papa menggeret koporku masuk kedalam
kamar.
"Mulei
lunik papa ghadeu mulang. Nyo kabagh? Hahahaha." (Gadis kecil papa sudah
pulang. Apa kabar? Hahaha) aku tersenyum. Lalu memeluk papa dari belakang.
Padahal baru 3 minggu yang lalu mereka menghadiri acara wisudaku di Palembang.
Tetapi rasa rindu ini memang sangat kurasakan.
"Atu
mau cari kerja disini aja ya, pa." Kataku pada papa. Papa tersenyum.
"Papa
sih terserah atu mau dimana. Kalau atu maunya di Lampung, malah bagus. Berarti
papa nggak perlu nahan kangen terus sama gadis kecil papa satu ini." Papa
mengacak rambutku. Mama hanya tersenyum melihat keakrabanku dan papa.
"Atu
mak ngighram jamow sekham?" (Kakak nggak kangen sama aku?) Adikku
tiba-tiba memasang wajah sebal. Aku tertawa melihatnya, lalu langsung kupeluk
adikku satu-satunya itu.
"Kangen
kok sama Rafa. Gimana sekolahnya? Dapat rangking berapa?" Aku mencubit
pipi adikku yang duduk di kelas 6 sekolah dasar itu. Ia masih cemberut.
"Ih cemberut aja. Nggak atu kasih lempok (dodol durian) dari Palembang
nanti!" Ia langsung merubah wajahnya menjadi senyum. Aku tertawa. Kulihat
papa dan mama juga tertawa.
"Atu
ghadeu mengan?" (Kakak sudah makan?) Tanya mama. Aku menggeleng. Mamaku
segera beranjak menuju dapur. Papa kembali duduk disamping Rafa. Aku segera
menuju kamarku.
"Nyo
kabagh kamar sekham?" Bisikku pada kamar yang sudah sangat kurindukan ini.
Aku segera menuju kamar mandi untuk mandi dan bersiap makan malam. Mama pasti
masak ceruit (sambal khas Lampung).
----
Kala
waktu berputar, tahun berganti. Dibelakangnya, aku mengikuti.
3
bulan sudah aku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang ada di Lampung. 3
bulan juga aku meninggalkan kota rantauku, Palembang.
"Fy,
hari ini Tul ngajak jalan kan?" Harisa, teman SMAku dulu, yang kebetulan
satu tempat kerja denganku berkata. Aku mengangguk. "Si Dinie, Nadia, Dwi,
Gita, Ranita, Cintya, Ara juga ikut sih katanyaa."
"Rame
dong!" Kataku semangat. Harisa mengangguk.
"Ngomong-ngomong.
Selama di Palembang 4 tahun. Nggak mungkin kan kamu nggak deket sama seorang
lelaki gitu hahaha..." Phely menggodaku. Aku tersenyum. Sekilas,
bayang-bayang tentang Rio muncul lagi. Lelaki yang dulu begitu dekat denganku,
apa kabarnya sekarang ya? Apa ia masih sama? Ah, Rio. Sosok itu. Aku rindu.
"Fy... Ih kok malah bengong sih.."
"Hehehe.
Nggak ada Cha." Aku menjawab pertanyaan Harisa atau sering disapa Icha itu
sambil tertawa. Icha menyipitkan matanya.
"Bohong!
Mata kamu tuh nggak bisa bohong, Fy. Pernah ada seseorang yang ngisi hati kamu
kan?" Kata Icha, sok tau. Aku mengernyit. Lalu mencubit pipinya gemas.
"Hehehe
udah ah lupain, Cha. Ngomong-ngomong Phely sama Sari apa kabar?" Tanyaku
pada Icha. Phely dan Sari adalah teman SMA kami juga. Tetapi mereka lebih dekat
dengan Icha daripada aku.
"Oh,
Phely sama Sari sekarang sih di Jakarta. Udah kerja juga sih. Kabarnya si Phely
tahun depan mau nikah deh, Fy." Kata Icha santai. Aku membulatkan mata, ah
lama tak bertemu dengan 2 temanku itu.
-----
Kala
pagi berganti, dan malam datang, aku masih setia.
"Fy.
Nggak mau ikut naik banana boat?" Tanya Dwi padaku, aku menggeleng. Saat
ini aku dan teman-temanku sedang berada di pantai mutun, Lampung. Aku duduk di
gubuk yang terdapat di sepanjang pinggir pantai.
"Yeyen
apa kabar, ya?" Aku memainkan jariku diatas layar ponselku. Taklama ada
sahutan dari Yeyen.
"Halo.
Nyo kabagh, Yen?" (Halo. Apa kabar, Yen?) Aku tertawa kecil saat mendengar
dumelan Yeyen karna tak mengerti apa yang kubicarakan. "Hehehe, apa kabar,
Yeyen kusayang?"
"Aku
baik, Fy. Gimana kamu? Udah punya pengganti hati belum?" Tanya yeyen to
the point. Aku merengut.
"Pengganti
hati? Apaan sih yen! Hahaha" aku asyik berbincang dengan Yeyen selama
kurang lebih 20 menit. Teman-temanku masih belum juga kembali, kulihat mereka
sudah 3 kali naik banana boat. Nggak capek apa ya. Ugh.
Aku
melangkahkan kakiku, menelusuri pinggir pantai, lalu duduk di bawah pohon
kelapa tak jauh dari gubukku tadi. Angin berhembus meniup rambutku. Aku
menunduk, mengambil sebatang ranting, lalu mulai mengukir nama di pasir pantai
itu.
'Pikachu
& Rio'
Hah?
Apaansih. Kenapa aku malah mengukir nama yang sama dengan yang diukir Rio pada
pohon cinta. Aku melenguh. Hatiku, merindukannya. Lelaki tengil yang dulu
kudamba senyum dan matanya. Aku memejamkan mata. Merasakan pelukan alam melalu
pantai indah ini.
"Deras
hujan yang turun. Mengingatkanku pada dirimu. Aku masih disini untuk
setia..." Aku mendengar lantunan lagu lama itu. Suara halus dan lembut
memenuhi pendengaranku.
"Selang
waktu berganti. Aku tak tahu engkau dimana. Tapi aku mencoba untuk
setia..." Aku masih asyik mendengarkan lantunan lagu itu. Segera aku
berdiri dan mencari sumber suara itu. Kulihat seseorang memeluk gitar dan
berada tak jauh dariku. Ia membelakangiku. Aku melangkah kearahnya, menatap
tubuhnya dari belakang. Tubuh itu.. Mirip seseorang..
"Sesaat
malam datang. Menjemput kesendirianku.... Dan bila pagi datang.. Kutahu, kau
tak disampingku..." Suaranya halus dan indah. "Aku masih disini untuk
setia......." Aku makin mantap melangkahkan kakiku menuju lelaki itu.
"Ooohh,
aku.. Masih disini.. Untuk setia..." Ia mengakhiri nyanyiannya dan
meletakkan gitar itu tepat disebelahnya. Lelaki itu menunduk. Aku tak tau apa
yang di lakukannya. Dan sekarang, aku telah berdiri di belakangnya.
"Rio....."
Gumamku pelan, yang ternyata dapat didengar oleh lelaki itu. Ia menoleh dan
membulatkan matanya.
"Ify?!"
Ia meneriakkan nama panggilanku. Aku tersenyum lebar, air mataku menetes. Rio
berdiri dari duduknya dan mendekat kearahku.
"Kamu,
ngapain ke Lampung?"
"Mencari
kamu, Pikachu.."
----
Kala
sebuah lagu tercipta, lukisan mempunyai makna. Aku dan kamu, menjadi indah.
Teluk
Kiluan, 06 Desember 2013.
Pagi-pagi
sekali, Rio sudah menculikku dari rumah. Herannya, papa dan mama sama sekali
tidak melarang. Mereka membolehkan saja anak gadisnya ini dibawa pergi oleh
Rio. Huft. Rio nggak tau aku masih ngantuk?
"Mau
kemana sih, Yo? Masih jam 4 subuh." Gerutuku. Rio hanya diam. Rio sudah 6
bulan bekerja di Lampung. Ia lebih memilih tinggal di dekatku, daripada berada
di kota kelahirannya, Palembang. Hehe. Aku sedikit salah tingkah waktu ia
mengatakan hal itu padaku.
Aku
merebahkan diriku di jok sebelah kiri mobil Rio, dan tertidur pulas. Biar saja,
Rio menyetir sendiri. Aku masih ngantuk.
"Pikachu.
Bangun! Sudah sampai nih!" Rio mencubit hidungku. Aku menggeliat dan
segera membuka mataku, saat kulihat didepanku ada banyak lumba-lumba sedang
meloncat-loncat di air. Ah teluk kiluan. Aku menatap Rio, ia tersenyum. Aku
segera keluar dari mobil Rio dan menyaksikan langsung lumba-lumba
meliuk-liukkan tubuhnya. Ah, how a happy I'm.
Tiba-tiba,
setangkai mawar merah dan tangan Rio muncul dihadapanku. Aku menoleh kearah Rio
yang sedang tersenyum.
"Mulai
hari ini. Kamu resmi, Pikachuku selamanya!" Tegasnya. Tak dapat dibantah.
Aku tertawa lalu mencubit pinggangnya keras. Ia mengaduh. Aku berlari
menjauhinya. Kulihat Rio tertawa lalu ikut mengejarku.
"Makasih,
Yo. Sudah membuatku percaya akan semua tentang kamu." Jawabku langsung
saat ia berhasil menangkapku dan mencubit hidung bangirku. Rio hanya mengangguk
dan tersenyum lebar.
Ah.
Sekham sayang jamow nikew, Linko Derio. (Aku sayang sama kamu, Linko Derio) Si
pemilik senyum dan mata indah.
-End-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar