IT’S
OKAY
Bau tanah basah
menyeruak dengan percaya diri saat dering bel pulang terdengar dan para murid
berhamburan keluar kelas. Tidak peduli becek di lapangan ataupun sisa-sisa air
hujan membasahi mereka. Yang terpenting tidak lama lagi mereka akan terbuai di
atas kasur ataupun menyearkan pikiran dengan bermain.
Emeur mengikuti langkah panjang Ify di depannya, terlihat
sekali gadis itu sedang bergegas, Emeur memutar bola mata.
“Fy!”Langkah Emeur terburu menyamai langkah Ify,
“Buru-buru amat sih,” ucapnya.
“Di koridor sempit, Meur.Sesek, licin, gue mau buru-buru
menghirup oksigen.”Ify tertawa.
“Lebay!”
Setelah Ify dan Emeur bebas dari sesaknya koridor sekolah
mereka, suara klakson menyapa telinga dan terlihatlah Andre sudah bertengger di
atas motornya.
“Eh Andre udah nyampe!” seru Emeur senang.
Laki-laki berkacamata yang dimaksud Emeur itu hanya
tersenyum kalem.
“Yaelah,” Ify mendecak.“Jadi gue sendiri gitu?”
“Hala, gue tau kok di depan sekolah udah ada yang nunggu,”
ucap Andre. “Gak usah sok alone deh.”
Ify mendelik, pun dengan Emeur.Karena hal yang berbeda
tentunya.
“Dre!Kamu serem banget sih ngomongnya.Ini tuh masih siang,
mana ada setan siang-siang!” seru Emeur.
Sontak Ify dan Andre melongo, lantas sadar apa yang
dimaksud Emeur.
“Ih Emeur!” pekik Ify.“Lo kok dodol sih?”Kemudian gadis
itu melenggang pergi begitu saja, tentunya setelah mengucapkan, “Bye, gue duluan ya.”
Samar-samar Ify mendengar Andre berkata pada Emeur, “Yang
aku maksud bukan setan, Meur. Itu ada Rio di depan.”
Sebentar kemudian klakson motor terdengar lagi di telinga
Ify dan suara Andre juga Emeur menyusul, “Kami duluan ya…”
“Tiati sama Rionya!”
Ify memutar bola mata menghadapi dua teman kala SMPnya
itu dan kini menjadi sebuah pasangan… aneh?
Ify menyeberang saat matanya menangkap Rio sudah melambaikan
tangannya dengan seringaian khasnya.Ify hanya ikut mengulum senyumnya.
-
Setelah memesan dua
mangkuk laksa dan minuman, Rio dan Ify mencari posisi nyaman untuk keduanya.
Lantas itu Rio hanya duduk di depan Ify sambil mengoperasikan ponselnya dengan
tenang. Ify pun tidak begitu peduli dengan apa yang dilakukan laki-laki itu
sekarang, kini ia hanya memfokuskan pandangan pada gerombolan murid sekolah
menengah di seberang kedai.
Lima orang siswi berseragam putih abu-abu itu masuk ke
kedai lalu tak lama disusul sejumlah siswa dan siswi dengan seragam putih
biru.Dengan kedai yang kini didominasi pelajar berseragam putih abu-abu dan
putih biru, Ify merasa asing.Seragamnya yang berwarna biru muda dan krem itu
tentu kontras dengan mereka. Apalagi Rio, seragam sekolahnya bernuansa
hijau-hitam-merah begitu mencolok di dalam sini.
“Bon après-midi!”
Suara beraksen prancis itu terdengar lucu di telinga
Ify.Ia jarang sekali mendengar bahasa prancis secara langsung dan diucapkan
dengan fasih. Ify baru menyadari bahwa seseorang yang baru saja mengucapkan
‘selamat siang’ itu adalah siswi berseragam putih abu-abu dengan wajah bule
Paris.
“Eliza!” panggil siswi yang sudah duduk di dalam kedai,
ia melambaikan tangan pada si bule Paris itu. “Bon après-midi trop!”
Ify mengangkat alisnya, dan terkekeh kecil.
Tapi kemudian Ify mengabaikan fakta itu, ia melirik Rio
yang sibuk dengan ponselnya, lantas ikut mengeluarkan ponselnya dari saku dan
ikut fokus pada benda mungil kesayangannya itu.
Iseng saja Ify mengirim SMS.
To:
Rio
Sibuk main hape aja
nih? Awkwk.
From:
Rio
Iya haha.
Nih lagi sms-an sama
gebetan :p
Sontak napas Ify tercekat setelah membaca pesan singkat
dari Rio barusan.Gadis itu mendongak dan mendapati bahwa sedari tadi laki-laki
di depannya sudah menatapnya.
Ify nyengir setelah menelan ludahnya.
“Lo lagi suka sama orang, Yo?” tanya Ify membuka
pembicaraan.
Rio mengangguk cuek sebagai jawaban.
Mata Ify dibuatnya berbinar.“Oh ya?Sama siapa?”
Alih-alih menjawab, Rio malah menggaruk tengkuknya dengan
kikuk, ia hanya nyengir, “Ada deh…”
“Ah elo mah.Siapa? Ines?” Ify menyebut satu nama teman
SMPnya—dan Rio—yang sudah menjadi mantan kekasih Rio selama dua kali itu.
“Bukan.Apa sih, dia lagi.”
Ify mengerutkan kening, matanya berpendar seolah
berpikir. Jantungnya berdebar tidak karuan, kemudian ia hanya menatap Rio tanpa
bersuara. Tapi Rio tahu gadis itu menunggunya berbicara lagi.
Rio menghela napas, lantas menyeringai polos.“Sebenernya
gue suka dia karena dia yang suka gue duluan.”Akunya.
Dengan cepat Ify tertegun.
“Kata Nadia, ada
anak kelas kita yang suka Rio. Yang jelas sih bukan Ines.” ucap Fanny, sahabat
Ify, kala itu.
“Kesukaannya sama kayak Rio. Denger
radio dan lagu klasik.”
“Gue curiga jangan-jangan elo, Fy!”
“Sok tau deh lo.”
“Kayaknya Rio juga suka sama dia
deh.Gue rasa sih gitu ya.”Di lain waktu lagi, giliran Nadia berkata langsung.
“Cie deh yang seneng dapet respon
dari Rio.”
“Kalau yang dimaksud Nadia itu elo,
gimana Fy?Seneng gak?”
Sapaan
ramah pemilik kedai yang mengantarkan makanan legendaris Tangerang yang
memiliki kuah kekuningan dan gurih dengan campuran parutan kelapa itu sukses
membuyarkan koleksi memori dialog dari teman-teman Ify kala ia SMP.
Setelah
menerima mangkuk bagiannya, Ify menambahkan sesendok sambal ke dalam mie besar
bertekstur kasar yang menggumpal di dalam mangkuk dengan sepotong ayam di
atasnya.
“Makan,
Fy.”
Ify
menoleh, kemudian mengangguk sambil mengulas senyum lantas ikut melahap laksa
miliknya.
-
“Ya ampun, muka lo
merah banget, Fy.”
“Pedes tau,” sahut Ify sambil menyalakan pendingin mobil
Rio.
“Biasanya cewek itu suka banget sama pedes deh, Fy. Sampe
ada yang rela jadi cabe malahan.” ujar Rio santai.
Ify tergelak.
Mobil Rio pun melaju membelah jalanan yang mulai padat
oleh berbagai kendaraan. Kawasan Tangerang Kota memang wilayah perkantoran,
wilayah pendidikan, wilayah sibuklah. Bisa dikatakan begitu. Makanya, wajar
bila petang mulai menjelang seperti ini jalanan memadat. Belum lagi jika klub
Persita (Persatuan Sepak Bola Indonesia Tangerang) sehabis tanding melawan klub
lain. Suporter mereka selepas menonton aksinya di stadion seringkali rusuh saat
itu.
Ify memandangi jalan lewat kaca mobil Rio, baru saja
mobil yang ditumpanginya ini melewati penjara anak. Kemudian ia tertegun betapa
malangnya anak-anak seumurannya—bahkan banyak yang lebih muda darinya—harus
menghabiskan kesempatan-kesempatan baik yang dimilikinya di dalam lapas. Bukan
dunia luar yang bebas.
Okay, itu
memang kesalahan mereka sendiri yang melakukan hal yang jelas dilarang. Ya,
tapi tentu memang banyak pengalaman positif lainnya di dalam lapas yang belum
tentu mereka-mereka dapatkan di luar sana.
Ify sering membaca artikel-artikel tentang ‘dunia’ yang
belum tentu diketahui banyak orang itu. Di dalam lapas, anak-anak dididik untuk
rajin beribadah, belajar, bahkan saat mereka bermain pun tidak lepas dari
didikan. Tidak sedikit antara mereka yang bahkan baru memerlihatkan bakatnya
disana, terbongkar dan menjadi hebat.
Namun tetap saja, sebahagia atau semenyenangkan apa pun
di ‘dunia’ itu, wajah-wajah mereka yang terpampang di artikel yang dibaca Ify
tetap menunjukkan wajah penuh harap untuk sebuah kata dan tindakan: kebebasan.
“Fokus amat sih ngelamunnya.”
Ify langsung tersentak begitu suara Rio menyapanya dan
menbuyarkan pikirannya. Kemudian ia mengangguk tanpa arti.
“Udah selesai kok.” sahut Ify spontan.
Rio tertawa, “Ada-ada aja sih lo. Ngelamun aja ada batas
udahannya.”
“Suka suka lah. Lo fokus nyetir aja deh.”
Laki-laki di belakang kemudi itu terkekeh. Lantas tangan
kirinya menyentuh tombol power pada tape mobilnya dan mencari channel radio.
Tidak lama kemudian ‘Saat Bahagia’-nya Ungu featuring Andien mengalun dari speaker-speaker di mobil Rio. Sejenak,
lagu yang terdengar ceria itu mampu membuyarkan kejenuhan akibat macet yang
sedang dihadapi.
“Lagunya pas banget sama gue sekarang!” pekik Rio senang.
Ify tertegun.
Sekarang.
Present continuous
tense.
Yang sedang terjadi.
Bagaimana kedengarannya bila kini ribuan kupu-kupu menggelitik
Ify dan ia benar-benar berharap?
Saat
bahagiaku
Duduk
berdua denganmu
Hanyalah
bersamamu
-
Tapi lagu Ungu feat Andien tersebut merupakan lagu
lama. Sama seperti waktu Ify mendengarkan lagu itu lewat radio tape di mobil Rio. Lama. Lampau. Sebelum
komunikasinya dengan Rio semakin menipis, sebelum Ify meragukan hatinya.
Sebelum Ify penasaran dengan keadaan hati Rio yang ia yakini mulai berubah
lewat status laki-laki itu di berbagai media sosial.
Juga sebelum Ify terlalu menyadari saat Rio menulis status:
“Tetaplah tenang, jantungku.”
Bagi siapapun, apalagi Ify yang menyukai dunia sastra,
pasti tahu makna dari kalimat tersebut. Apa yang dirasakan penulisnya.
Kemudian Ify menyalakan laptopnya dan membuka blognya,
lantas mengetikkan apa yang ada dipikirannya.
AKU, KAMU…, DIA?
Tidak, aku tidak
meminta harapan
Kamu saja yang memberi
Tidak, aku juga tidak
meminta hatimu
Lagi-lagi kamu saja
yang memberi,
dan aku…
Hei, apa aku
menerimanya?
Baiklah, semuanya itu
cerita lama
Kini kau terbang
menjauh
Dan keputusanku untuk
melepasmu,
apakah salah?
Tenanglah, aku tidak
akan menahanmu
Terbanglah sesukamu
Kini milikmu sudah kau
ambil kan?
Untuk siapa lagi?
Siapapun itu,
bolehkah aku menitip
pesan kepadanya;
“Hati-hati pada orang
yang memberimu organ bayangan yang membuatmu senang dan melayang.”
Kau menebak apa
maksudku?
Benar, hati.
Dan Ify menekan post.
Kini puisi miliknya sudah terpasang rapi di dinding blognya. Ia hanya tersenyum
tipis.
Tidak perlu menunggu lama sejak ia mengisi blognya untuk
merasakan getaran manja dari ponselnya. Diam-diam Ify merasa iri, ponselnya
masih saja bisabergetar, apa kabar dengan hatinya?
From:
Rio
Apa kabar?
To:
Rio
Baik hehe J
Kamu sendiri apa kabar?
Ngomong-ngomong, smsnya
gak salah kirim kan?
Sebenarnya Ify sedikit terkejut saat mendapati sebuah sms
atas nama Rio. Sudah lama ponselnya sepi dari nama tersebut. Dan kini ia
mendapatkannya kembali. Ia pun bingung apa reaksi yang pantas dikeluarkannya.
Dan entah sejak kapan, entah sejak hari keberapakah—sejak
Ify dan Rio dekat—mereka menggunakan komunikasi aku-kamu. Terkesan lebih lembut
dan… polos?
From:
Rio
Baik juga kok, Fy.
Abis kaget nih baca
puisi kamu.Bagus loh :D
To:
Rio
Wahaha makasih.
From:
Rio
Aku tau ‘kau’ yang
dimaksud itu aku kan?
Eum, jadi bener kamu
udah ngelepas aku?
To:
Rio
Aku gak bilang ngelepas
kamu
Kamu aja yang lepas
sendiri.
From:
Rio
Gak kamu kejar?
To:
Rio
Geer banget sih mau aku
kejar
Emang kamu siapa aku?
From:
Rio
Teman :p
Bukannya Ify tidak mau membalas, tapi Ify tidak sanggup.
Matanya kini mulai memproduksi tetesan bening miliknya. Ia mulai mengantuk
rupanya. Sedari tadi gadis itu memang sudah menguap.
Bahkan Ify tidak sempat sikat gigi sebelum tidur malamini.
Apalagi membalas sms temannya itu.
-
Ify melemparkan
batu-batu kerikil ke sungai cisadane yang jauh di bawah kakinya. Bendungan
pintu air sepuluh ini yang biasanya ramai oleh remaja sepulang sekolah, hari
ini sepi. Makanya Ify menyukai bendungan ini kala weekend. Di sini sepi dan tenang. Ify hanya menyukai ketenangan di
sini. Bukan sungai berwarna coklat di bawah kakinya ini.
Sambil mengamati bentuk cipratan air dari batu yang
dilemparkannya, Ify berpikir. Apa membuang Rio semudah melempar batu-batu itu?
Tapi kemudian ia tersadar, untuk apa Rio dibuang? Salah
apa anak itu?
Ify terkekeh sendiri.
“Hei, ketawa sendiri.”
Ify cepat menoleh ke sampingnya yang kini ada sosok yang
dipikirannya. Rio.
Anak laki-laki itu sedang menyeringai dengan khas saat
Ify menoleh tadi. Ify menghela napas. Seringaian anak itu masih sama. Tetap
sama.
“Kok di sini, Yo?” tanya Ify mengabaikan sapaan Rio tadi.
“Kebetulan aja, aku juga pengen ke sini, tadinya mau
nyemplung siapa tau dimakan buaya.”
“Buaya juga gak suka suka kamu, Yo. Aku yakin pas dia
gigit kamu langsung dimuntahin lagi.”
Rio hanya tertawa. Tidak merasa tersinggung dengan
kalimat yang Ify keluarkan.
Kini sunyi. Benar-benar sunyi. Ify tidak lagi melempar
batu-batu yang dipungutnya. Gadis itu hanya menunduk menatapi kakinya yang
melayang di atas sungai dengan terbalut flat
shoes merah muda.
Rio pun begitu, ia bungkam. Memikirkan apakah
keputusannya salah menghampiri Ify di sini? Apa seharusnya saat ia sampai ke
bendungan ini ia mendatangi pintu yang lain, tanpa Ify?
Lalu hanya suara helikopter yang terbang rendah dengan
suara bising khas miliknya yang sedikit meretakkan keheningan ini.
“Fy,” Rio benar-benar memecahkan keheningan. Didapatinya
Ify menoleh. “Aku boleh bahas puisi kamu?” Ify bungkam. Tapi Rio menganggapnya
jawaban mengiyakan.
“Kamu bener-bener ngelepas aku, Fy?”
Ify menghela napas. “Aku udah bilang kamu yang lepas
sendiri, Yo.” sahutnya pelan.
“Dan gak kamu kejar?”
Ify tertawa kecil, “Kamu lari-lari sana. Atau nyemplung
deh, aku yakin nanti aku bakal ngejar kamu.”
Rio ikut tersenyum. Ia terbiasa dengan suasana tidak
stabil seperti ini. Tidak melulu tegang, tidak melulu melankolis, tidak melulu
menyenangkan. “Tapi aku masih sayang kamu, Fy.”
“Boong.” Spontan saja Ify menyahut.
Giliran Rio yang bungkam. Ia tidak memungkiri ucapan Ify
barusan. Tapi ia tidak sejahat itu sampai mengiyakan sahutan gadis di
sampingnya ini.
“Nggak kok, aku gak boong.”
“Sebagai sahabat tapi kan?”
Telak lagi. Kenapa sih, gadis ini begitu pintar?
Hening kembali.
“Maaf Fy, maaf…”
“…”
“Maaf aku seenaknya ngambil hati aku yang kamu simpen
dengan baik itu, dan tanpa sepengetahuan kamu.”
“It’s okay.”
“Apa aku udah…
eum, udah... balikin hati kamu?” tanya Rio begitu hati-hati. Tidak mau
menciptakan sebuah goresan—lagi—di hati gadis ini.
“Kayaknya baru setengah, Yo.” jawab Ify sambil tersenyum
lugu kepada Rio.
Rio tersentak. “Kalau kamu ambil sendiri gimana?”
“It’s okay.”
Jawaban yang sama untuk kedua kalinya.
Apakah jika Rio bertanya, apa kabar sama hati kamu
sekarang? Apakah jawaban itu lagi yang dia berikan?
“It’s okay.”
Barusan Rio tidak benar-benar menyuarakan pikirannya kan?
Kalau iya, maaf..
“It’s okay.”
Apa Rio menyuarakan pikirannya lagi?
-
Belum berubah. Masih
saja hanya suara radio yang mendominasi mobil Rio. Suara penyiar yang ceria dan
terkadang ngebanyol itu tetap membuat suasana sunyi dan tidak nyaman. Dingin.
Bagian ini berubah.
Kemudian nada suara si penyiar mendadak galau dan dibuatnya
lirih. Kebiasaan si penyiar sebelum memutarkan lagu sedih.
“Di
puisi kamu banyak pertanyaan, Fy. Buat aku kan? Gimana kalau sekarang aku
jawab?”
Ify mengulas senyumnya. “It’s okay.”
Jawaban itu lagi.
“Pertama,” Rio menghela napas. “Kamu gak salah buat
ngelepas aku. Mungkin aku aja yang salah udah seenaknya.”
Ku menunggu dalam
bimbang
Adakah sungguhnya aku
Kasih yang kau inginkan
“Kedua. Iya Fy, aku udah pegang kembali milik aku. Dan
aku gak tau ke siapa aku bakal ngasih milik aku itu.”
“Boong.”
Rio mendesah dalam. “Iya, aku boong. Tapi aku ragu, Fy,
aku ragu apa aku bakal bener-bener ngasih milik aku ini ke ‘dia’? Rasanya ragu.
Gak kayak saat aku ngasih milik aku ini ke kamu.”
“Udah nyampe, Yo.” ucap Ify pelan.
Rio menginjak pedal rem mobilnya dan kuda besinya itu
berhenti di depan rumah milik keluarga Ify.
Ify menunduk, gadis itu membuka pintu mobil dan keluar
setelah suaranya terdengar, “Selamat tinggal.” Lirih.
Biar aku yang pergi
Bila tak juga pasti
Adakah selama ini,
aku cinta sendiri
Tidak perlu menunggu lama untuk mendapati air deras milik
awan membasahi kuda besi milik Rio sejak Ify ditelan pintu rumahnya. Mewakili
luncuran air milik mata Rio dan Ify yang tidak terlihat.
“Ify Salsabila, maaf…”
“Okay, RFM gimana
berhasil galau gak? Sayang banget ini saatnya Icha sama Cintya pamit. Tunggu
sampai kita ketemu lagi di siaran RF.fm ya! Selamat tinggal!”
“Selamat tinggal.”
Ranita
Hanin Salsabila Agustine
@SalsabilaRan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar