Jumat, 07 November 2014

RANITA SALSABILA @SalsabilaRan [RFM TANGERANG]



IT’S OKAY
Bau tanah basah menyeruak dengan percaya diri saat dering bel pulang terdengar dan para murid berhamburan keluar kelas. Tidak peduli becek di lapangan ataupun sisa-sisa air hujan membasahi mereka. Yang terpenting tidak lama lagi mereka akan terbuai di atas kasur ataupun menyearkan pikiran dengan bermain.
            Emeur mengikuti langkah panjang Ify di depannya, terlihat sekali gadis itu sedang bergegas, Emeur memutar bola mata.
            “Fy!”Langkah Emeur terburu menyamai langkah Ify, “Buru-buru amat sih,” ucapnya.
            “Di koridor sempit, Meur.Sesek, licin, gue mau buru-buru menghirup oksigen.”Ify tertawa.
            “Lebay!”
            Setelah Ify dan Emeur bebas dari sesaknya koridor sekolah mereka, suara klakson menyapa telinga dan terlihatlah Andre sudah bertengger di atas motornya.
            “Eh Andre udah nyampe!” seru Emeur senang.
            Laki-laki berkacamata yang dimaksud Emeur itu hanya tersenyum kalem.
            “Yaelah,” Ify mendecak.“Jadi gue sendiri gitu?”
            “Hala, gue tau kok di depan sekolah udah ada yang nunggu,” ucap Andre. “Gak usah sok alone deh.”
            Ify mendelik, pun dengan Emeur.Karena hal yang berbeda tentunya.
            “Dre!Kamu serem banget sih ngomongnya.Ini tuh masih siang, mana ada setan siang-siang!” seru Emeur.
            Sontak Ify dan Andre melongo, lantas sadar apa yang dimaksud Emeur.
            “Ih Emeur!” pekik Ify.“Lo kok dodol sih?”Kemudian gadis itu melenggang pergi begitu saja, tentunya setelah mengucapkan, “Bye, gue duluan ya.”
            Samar-samar Ify mendengar Andre berkata pada Emeur, “Yang aku maksud bukan setan, Meur. Itu ada Rio di depan.”
            Sebentar kemudian klakson motor terdengar lagi di telinga Ify dan suara Andre juga Emeur menyusul, “Kami duluan ya…”
            “Tiati sama Rionya!”
            Ify memutar bola mata menghadapi dua teman kala SMPnya itu dan kini menjadi sebuah pasangan… aneh?
            Ify menyeberang saat matanya menangkap Rio sudah melambaikan tangannya dengan seringaian khasnya.Ify hanya ikut mengulum senyumnya.
-
Setelah memesan dua mangkuk laksa dan minuman, Rio dan Ify mencari posisi nyaman untuk keduanya. Lantas itu Rio hanya duduk di depan Ify sambil mengoperasikan ponselnya dengan tenang. Ify pun tidak begitu peduli dengan apa yang dilakukan laki-laki itu sekarang, kini ia hanya memfokuskan pandangan pada gerombolan murid sekolah menengah di seberang kedai.
            Lima orang siswi berseragam putih abu-abu itu masuk ke kedai lalu tak lama disusul sejumlah siswa dan siswi dengan seragam putih biru.Dengan kedai yang kini didominasi pelajar berseragam putih abu-abu dan putih biru, Ify merasa asing.Seragamnya yang berwarna biru muda dan krem itu tentu kontras dengan mereka. Apalagi Rio, seragam sekolahnya bernuansa hijau-hitam-merah begitu mencolok di dalam sini.
            Bon après-midi!
            Suara beraksen prancis itu terdengar lucu di telinga Ify.Ia jarang sekali mendengar bahasa prancis secara langsung dan diucapkan dengan fasih. Ify baru menyadari bahwa seseorang yang baru saja mengucapkan ‘selamat siang’ itu adalah siswi berseragam putih abu-abu dengan wajah bule Paris.
            “Eliza!” panggil siswi yang sudah duduk di dalam kedai, ia melambaikan tangan pada si bule Paris itu. “Bon après-midi trop!
            Ify mengangkat alisnya, dan terkekeh kecil.
            Tapi kemudian Ify mengabaikan fakta itu, ia melirik Rio yang sibuk dengan ponselnya, lantas ikut mengeluarkan ponselnya dari saku dan ikut fokus pada benda mungil kesayangannya itu.
            Iseng saja Ify mengirim SMS.

To: Rio
Sibuk main hape aja nih? Awkwk.
From: Rio
Iya haha.
Nih lagi sms-an sama gebetan :p

            Sontak napas Ify tercekat setelah membaca pesan singkat dari Rio barusan.Gadis itu mendongak dan mendapati bahwa sedari tadi laki-laki di depannya sudah menatapnya.
            Ify nyengir setelah menelan ludahnya.
            “Lo lagi suka sama orang, Yo?” tanya Ify membuka pembicaraan.
            Rio mengangguk cuek sebagai jawaban.
            Mata Ify dibuatnya berbinar.“Oh ya?Sama siapa?”
            Alih-alih menjawab, Rio malah menggaruk tengkuknya dengan kikuk, ia hanya nyengir, “Ada deh…”
            “Ah elo mah.Siapa? Ines?” Ify menyebut satu nama teman SMPnya—dan Rio—yang sudah menjadi mantan kekasih Rio selama dua kali itu.
            “Bukan.Apa sih, dia lagi.”
            Ify mengerutkan kening, matanya berpendar seolah berpikir. Jantungnya berdebar tidak karuan, kemudian ia hanya menatap Rio tanpa bersuara. Tapi Rio tahu gadis itu menunggunya berbicara lagi.
            Rio menghela napas, lantas menyeringai polos.“Sebenernya gue suka dia karena dia yang suka gue duluan.”Akunya.
            Dengan cepat Ify tertegun.
            “Kata Nadia, ada anak kelas kita yang suka Rio. Yang jelas sih bukan Ines.” ucap Fanny, sahabat Ify, kala itu.
            “Kesukaannya sama kayak Rio. Denger radio dan lagu klasik.”
            “Gue curiga jangan-jangan elo, Fy!”
            “Sok tau deh lo.”
            “Kayaknya Rio juga suka sama dia deh.Gue rasa sih gitu ya.”Di lain waktu lagi, giliran Nadia berkata langsung.
            “Cie deh yang seneng dapet respon dari Rio.”
            “Kalau yang dimaksud Nadia itu elo, gimana Fy?Seneng gak?”
Sapaan ramah pemilik kedai yang mengantarkan makanan legendaris Tangerang yang memiliki kuah kekuningan dan gurih dengan campuran parutan kelapa itu sukses membuyarkan koleksi memori dialog dari teman-teman Ify kala ia SMP.
Setelah menerima mangkuk bagiannya, Ify menambahkan sesendok sambal ke dalam mie besar bertekstur kasar yang menggumpal di dalam mangkuk dengan sepotong ayam di atasnya.
“Makan, Fy.”
Ify menoleh, kemudian mengangguk sambil mengulas senyum lantas ikut melahap laksa miliknya.
-
“Ya ampun, muka lo merah banget, Fy.”
            “Pedes tau,” sahut Ify sambil menyalakan pendingin mobil Rio.
            “Biasanya cewek itu suka banget sama pedes deh, Fy. Sampe ada yang rela jadi cabe malahan.” ujar Rio santai.
            Ify tergelak.
            Mobil Rio pun melaju membelah jalanan yang mulai padat oleh berbagai kendaraan. Kawasan Tangerang Kota memang wilayah perkantoran, wilayah pendidikan, wilayah sibuklah. Bisa dikatakan begitu. Makanya, wajar bila petang mulai menjelang seperti ini jalanan memadat. Belum lagi jika klub Persita (Persatuan Sepak Bola Indonesia Tangerang) sehabis tanding melawan klub lain. Suporter mereka selepas menonton aksinya di stadion seringkali rusuh saat itu.
            Ify memandangi jalan lewat kaca mobil Rio, baru saja mobil yang ditumpanginya ini melewati penjara anak. Kemudian ia tertegun betapa malangnya anak-anak seumurannya—bahkan banyak yang lebih muda darinya—harus menghabiskan kesempatan-kesempatan baik yang dimilikinya di dalam lapas. Bukan dunia luar yang bebas.
            Okay, itu memang kesalahan mereka sendiri yang melakukan hal yang jelas dilarang. Ya, tapi tentu memang banyak pengalaman positif lainnya di dalam lapas yang belum tentu mereka-mereka dapatkan di luar sana.
            Ify sering membaca artikel-artikel tentang ‘dunia’ yang belum tentu diketahui banyak orang itu. Di dalam lapas, anak-anak dididik untuk rajin beribadah, belajar, bahkan saat mereka bermain pun tidak lepas dari didikan. Tidak sedikit antara mereka yang bahkan baru memerlihatkan bakatnya disana, terbongkar dan menjadi hebat.
            Namun tetap saja, sebahagia atau semenyenangkan apa pun di ‘dunia’ itu, wajah-wajah mereka yang terpampang di artikel yang dibaca Ify tetap menunjukkan wajah penuh harap untuk sebuah kata dan tindakan: kebebasan.
            “Fokus amat sih ngelamunnya.”
            Ify langsung tersentak begitu suara Rio menyapanya dan menbuyarkan pikirannya. Kemudian ia mengangguk tanpa arti.
            “Udah selesai kok.” sahut Ify spontan.
            Rio tertawa, “Ada-ada aja sih lo. Ngelamun aja ada batas udahannya.”
            “Suka suka lah. Lo fokus nyetir aja deh.”
            Laki-laki di belakang kemudi itu terkekeh. Lantas tangan kirinya menyentuh tombol power pada tape mobilnya dan mencari channel radio.
            Tidak lama kemudian ‘Saat Bahagia’-nya Ungu featuring Andien mengalun dari speaker-speaker di mobil Rio. Sejenak, lagu yang terdengar ceria itu mampu membuyarkan kejenuhan akibat macet yang sedang dihadapi.
            “Lagunya pas banget sama gue sekarang!” pekik Rio senang.
            Ify tertegun.
            Sekarang.
            Present continuous tense.
            Yang sedang terjadi.
            Bagaimana kedengarannya bila kini ribuan kupu-kupu menggelitik Ify dan ia benar-benar berharap?
Saat bahagiaku
Duduk berdua denganmu
Hanyalah bersamamu
-
Tapi lagu Ungu feat Andien tersebut merupakan lagu lama. Sama seperti waktu Ify mendengarkan lagu itu lewat radio tape di mobil Rio. Lama. Lampau. Sebelum komunikasinya dengan Rio semakin menipis, sebelum Ify meragukan hatinya. Sebelum Ify penasaran dengan keadaan hati Rio yang ia yakini mulai berubah lewat status laki-laki itu di berbagai media sosial.
            Juga sebelum Ify terlalu menyadari saat Rio menulis status: “Tetaplah tenang, jantungku.”
            Bagi siapapun, apalagi Ify yang menyukai dunia sastra, pasti tahu makna dari kalimat tersebut. Apa yang dirasakan penulisnya.
            Kemudian Ify menyalakan laptopnya dan membuka blognya, lantas mengetikkan apa yang ada dipikirannya.



AKU, KAMU…, DIA?
Tidak, aku tidak meminta harapan
Kamu saja yang memberi
Tidak, aku juga tidak meminta hatimu
Lagi-lagi kamu saja yang memberi,
dan aku…
Hei, apa aku menerimanya?

Baiklah, semuanya itu cerita lama
Kini kau terbang menjauh
Dan keputusanku untuk melepasmu,
apakah salah?

Tenanglah, aku tidak akan menahanmu
Terbanglah sesukamu

Kini milikmu sudah kau ambil kan?
Untuk siapa lagi?

Siapapun itu,
bolehkah aku menitip pesan kepadanya;
“Hati-hati pada orang yang memberimu organ bayangan yang membuatmu senang dan melayang.”
Kau menebak apa maksudku?
Benar, hati.

            Dan Ify menekan post. Kini puisi miliknya sudah terpasang rapi di dinding blognya. Ia hanya tersenyum tipis.
            Tidak perlu menunggu lama sejak ia mengisi blognya untuk merasakan getaran manja dari ponselnya. Diam-diam Ify merasa iri, ponselnya masih saja bisabergetar, apa kabar dengan hatinya?

From: Rio
Apa kabar?
To: Rio
Baik hehe J
Kamu sendiri apa kabar?
Ngomong-ngomong, smsnya gak salah kirim kan?

            Sebenarnya Ify sedikit terkejut saat mendapati sebuah sms atas nama Rio. Sudah lama ponselnya sepi dari nama tersebut. Dan kini ia mendapatkannya kembali. Ia pun bingung apa reaksi yang pantas dikeluarkannya.
            Dan entah sejak kapan, entah sejak hari keberapakah—sejak Ify dan Rio dekat—mereka menggunakan komunikasi aku-kamu. Terkesan lebih lembut dan… polos?

From: Rio
Baik juga kok, Fy.
Abis kaget nih baca puisi kamu.Bagus loh :D
To: Rio
Wahaha makasih.
From: Rio
Aku tau ‘kau’ yang dimaksud itu aku kan?
Eum, jadi bener kamu udah ngelepas aku?
To: Rio
Aku gak bilang ngelepas kamu
Kamu aja yang lepas sendiri.
From: Rio
Gak kamu kejar?
To: Rio
Geer banget sih mau aku kejar
Emang kamu siapa aku?
From: Rio
Teman :p

            Bukannya Ify tidak mau membalas, tapi Ify tidak sanggup. Matanya kini mulai memproduksi tetesan bening miliknya. Ia mulai mengantuk rupanya. Sedari tadi gadis itu memang sudah menguap.
            Bahkan Ify tidak sempat sikat gigi sebelum tidur malamini. Apalagi membalas sms temannya itu.
-
Ify melemparkan batu-batu kerikil ke sungai cisadane yang jauh di bawah kakinya. Bendungan pintu air sepuluh ini yang biasanya ramai oleh remaja sepulang sekolah, hari ini sepi. Makanya Ify menyukai bendungan ini kala weekend. Di sini sepi dan tenang. Ify hanya menyukai ketenangan di sini. Bukan sungai berwarna coklat di bawah kakinya ini.
            Sambil mengamati bentuk cipratan air dari batu yang dilemparkannya, Ify berpikir. Apa membuang Rio semudah melempar batu-batu itu?
            Tapi kemudian ia tersadar, untuk apa Rio dibuang? Salah apa anak itu?
            Ify terkekeh sendiri.
            “Hei, ketawa sendiri.”
            Ify cepat menoleh ke sampingnya yang kini ada sosok yang dipikirannya. Rio.
            Anak laki-laki itu sedang menyeringai dengan khas saat Ify menoleh tadi. Ify menghela napas. Seringaian anak itu masih sama. Tetap sama.
            “Kok di sini, Yo?” tanya Ify mengabaikan sapaan Rio tadi.
            “Kebetulan aja, aku juga pengen ke sini, tadinya mau nyemplung siapa tau dimakan buaya.”
            “Buaya juga gak suka suka kamu, Yo. Aku yakin pas dia gigit kamu langsung dimuntahin lagi.”
            Rio hanya tertawa. Tidak merasa tersinggung dengan kalimat yang Ify keluarkan.
            Kini sunyi. Benar-benar sunyi. Ify tidak lagi melempar batu-batu yang dipungutnya. Gadis itu hanya menunduk menatapi kakinya yang melayang di atas sungai dengan terbalut flat shoes merah muda.
            Rio pun begitu, ia bungkam. Memikirkan apakah keputusannya salah menghampiri Ify di sini? Apa seharusnya saat ia sampai ke bendungan ini ia mendatangi pintu yang lain, tanpa Ify?
            Lalu hanya suara helikopter yang terbang rendah dengan suara bising khas miliknya yang sedikit meretakkan keheningan ini.
            “Fy,” Rio benar-benar memecahkan keheningan. Didapatinya Ify menoleh. “Aku boleh bahas puisi kamu?” Ify bungkam. Tapi Rio menganggapnya jawaban mengiyakan.
            “Kamu bener-bener ngelepas aku, Fy?”
            Ify menghela napas. “Aku udah bilang kamu yang lepas sendiri, Yo.” sahutnya pelan.
            “Dan gak kamu kejar?”
            Ify tertawa kecil, “Kamu lari-lari sana. Atau nyemplung deh, aku yakin nanti aku bakal ngejar kamu.”
            Rio ikut tersenyum. Ia terbiasa dengan suasana tidak stabil seperti ini. Tidak melulu tegang, tidak melulu melankolis, tidak melulu menyenangkan. “Tapi aku masih sayang kamu, Fy.”
            “Boong.” Spontan saja Ify menyahut.
            Giliran Rio yang bungkam. Ia tidak memungkiri ucapan Ify barusan. Tapi ia tidak sejahat itu sampai mengiyakan sahutan gadis di sampingnya ini.
            “Nggak kok, aku gak boong.”
            “Sebagai sahabat tapi kan?”
            Telak lagi. Kenapa sih, gadis ini begitu pintar?
            Hening kembali.
            “Maaf Fy, maaf…”
            “…”
            “Maaf aku seenaknya ngambil hati aku yang kamu simpen dengan baik itu, dan tanpa sepengetahuan kamu.”
            It’s okay.”
            “Apa aku udah… eum, udah... balikin hati kamu?” tanya Rio begitu hati-hati. Tidak mau menciptakan sebuah goresan—lagi—di hati gadis ini.
            “Kayaknya baru setengah, Yo.” jawab Ify sambil tersenyum lugu kepada Rio.
            Rio tersentak. “Kalau kamu ambil sendiri gimana?”
            It’s okay.
            Jawaban yang sama untuk kedua kalinya.
            Apakah jika Rio bertanya, apa kabar sama hati kamu sekarang? Apakah jawaban itu lagi yang dia berikan?
            It’s okay.
            Barusan Rio tidak benar-benar menyuarakan pikirannya kan?
            Kalau iya, maaf..
            It’s okay.
            Apa Rio menyuarakan pikirannya lagi?
-
Belum berubah. Masih saja hanya suara radio yang mendominasi mobil Rio. Suara penyiar yang ceria dan terkadang ngebanyol itu tetap membuat suasana sunyi dan tidak nyaman. Dingin. Bagian ini berubah.
            Kemudian nada suara si penyiar mendadak galau dan dibuatnya lirih. Kebiasaan si penyiar sebelum memutarkan lagu sedih.
“Di puisi kamu banyak pertanyaan, Fy. Buat aku kan? Gimana kalau sekarang aku jawab?”
            Ify mengulas senyumnya. “It’s okay.
            Jawaban itu lagi.
            “Pertama,” Rio menghela napas. “Kamu gak salah buat ngelepas aku. Mungkin aku aja yang salah udah seenaknya.”
Ku menunggu dalam bimbang
Adakah sungguhnya aku
Kasih yang kau inginkan
            “Kedua. Iya Fy, aku udah pegang kembali milik aku. Dan aku gak tau ke siapa aku bakal ngasih milik aku itu.”
            “Boong.”
            Rio mendesah dalam. “Iya, aku boong. Tapi aku ragu, Fy, aku ragu apa aku bakal bener-bener ngasih milik aku ini ke ‘dia’? Rasanya ragu. Gak kayak saat aku ngasih milik aku ini ke kamu.”
            “Udah nyampe, Yo.” ucap Ify pelan.
            Rio menginjak pedal rem mobilnya dan kuda besinya itu berhenti di depan rumah milik keluarga Ify.
            Ify menunduk, gadis itu membuka pintu mobil dan keluar setelah suaranya terdengar, “Selamat tinggal.” Lirih.
Biar aku yang pergi
Bila tak juga pasti
Adakah selama ini,
aku cinta sendiri
            Tidak perlu menunggu lama untuk mendapati air deras milik awan membasahi kuda besi milik Rio sejak Ify ditelan pintu rumahnya. Mewakili luncuran air milik mata Rio dan Ify yang tidak terlihat.
            “Ify Salsabila, maaf…”
            “Okay, RFM gimana berhasil galau gak? Sayang banget ini saatnya Icha sama Cintya pamit. Tunggu sampai kita ketemu lagi di siaran RF.fm ya! Selamat tinggal!
            “Selamat tinggal.”


Ranita Hanin Salsabila Agustine
@SalsabilaRan
RFM Tangerang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar