(Panginten)
Ieu Anu Langkung Sae
“(Mungkin)
Ini Yang Terbaik”
Karena
aku tahu, kaulah yang membuatnya menjadi lebih indah…
Suara
deru mesin
bus yang melaju membelah jalan mulai mengusik tidurku. Perlahan ku buka kedua
mataku. Beberapa kali aku mengerjap menyesuaikan sinar matahari yang terpantul
dari jendela bis.
Dan
kini roda–roda bus itu masih tetap berputar membawa kami–rombongan study tour- kembali ke kota kami,
Cirebon. Setelah kedua mataku terbiasa dengan sinar mentari, Aku mulai berdiri
meregangkan badanku yang begitu kaku. Bukan hal mudah apalagi enak tidur di
kursi bus yang begitu sempit. Aku harus tetap terduduk meskipun aku sudah
tenggelam dalam mimpiku.
“Gusti ieu awak ni pegel pisan sih (Tuhan ini
badan pegel banget),”
keluhku dalam hati.
Setelah
dirasa cukup peregangan yang ku lakukan, Aku kembali duduk. Aku menoleh kursi
disebelahku. Aku meminta pada sahabat ku –Peliana Scania—untuk bertukar tempat denganku.
Entah kenapa aku ingin menikmati setiap jalan yang aku lalui. Sambil menopang
wajah dengan tangan kananku pada pinggiran jendela, aku menatap setiap
kendaraan yang melaju. Jalan dalam tol Kanci.
Semakin
bus melaju dengan cepat, semakin cepat pula debaran jantungku. Beberapa saat
lagi aku akan bertemu dengannya. Kekasihku. Laki – laki yang berhasil membuat
hari – hariku
lebih berwarna selama 6tahun ini. Membayangkan pertemuan seperti apa yang akan
terjadi. Akankah aku yang menghampirinya saat aku melihatnya? Atau menunggunya
yang menghampiriku?
Membayangkannya
membuatku bergidik ngeri. Teringat adegan FTV yang biasa aku lihat.
“Fy,
ayok siap–siap udah mau sampe nih.”
Suara Ana membuyarkan
lamunan ku.
Aku
hanya mengangguk perlahan. Mulai
mengemasi beberapa barang yang tergeletak di samping tubuhku dan memasukannya
ke tas bahu.
Drttt…
Drtt…
Sebuah getar yang berasal dari ponsel yang berada di saku
celana jins, membuatku menghentikan kegiatanku memasukkan powerbank—yang kudapati berada diselipan kursi. Aku mengambil Handphone touchscreen dan membuka
pesan yang masuk.
Hey
sayang sudah sampe dimana? Aku hari ini ada kerjaan di kantor, aku jemput kamu besok pagi ya J sekalian jalan. kamu istirahat aja dulu di
kosan :*
Aku
tersenyum membaca
isi pesan darinya. Perhatian
kecil seperti inilah yang selalu menemaniku setiap waktu. Perhatian yang
membuatku semakin jatuh ke dalam pelukan hatinya dan juga perasaan cinta yang
setiap saat selalu tumbuh kembang menjadikan akarnya semakin kuat juga dalam dan
semakin terpatri di dalam
hatiku. Laki-laki ini selalu berhasil membuatku jatuh cinta setiap harinya.
Setelah dirasanya cukup untuk bersemu merah dan membayangkan dirinya yang
selalu berefek sama pada tubuhku—yaitu berdebarnya jantungku dengan menggila, segera
aku membalas pesannya. Menggerakan jari lincahku diatas keypad.
Aku
udah keluar tol Kanci. Oke :)
kerja yang bener ya! :*
Setelah membalas
pesannya aku kembali memasukan
benda canggih itu kedalam tas. Tak berapa lama supir bus pariwisata pun memberitahu
kami bahwa bus telah sampai di area kampus. Hal pertama yang kulihat saat bis memasuki arena kampus
adalah keriuhan para orangtua yang menjemput anak-anaknya. Menunggu di lobi
depan kampus sambil berbincang satu sama lain.
Aku
menghela napas. Seandainya kedua orangtuaku berada di sini. Seandainya saat ini
aku tinggal bersamanya. Namun sayang... kenyataannya aku tinggal berjauhan
dengan mereka. Ternyata beginilah nasib anak kost sepertiku. Walau nyatanya
bukan hanya diriku yang bernasib serupa, namun tetap saja perasaan sesak
menghampiri. Saat kurasa genangan airmata mulai membasahi mata, aku langsung
mendongak. Menghalaunya agar tidak jatuh.
Entah
kenapa mendadak perasaanku menjadi sentiment seperti ini. Mungkin karena akumulasi
perasaan rindu yang terlalu mendalam kepada keluargaku yang berada di Bintaro,
juga dengan laki-laki yang selama 6 tahun ini menjadi bagian terpenting di
kehidupanku. Setelah berulang kali menarik juga menghembuskan napas untuk
menenangkan gejolak rindu yang mendadak muncul, aku beranjak turun. Mengambil travel bag-ku yang berada di bagasi bus
juga beberapa tentangan oleh-oleh yang kubeli saat di Bali.
Setelah memastikan tak
ada barang yang tertinggal aku berjalan menuju kamar kos yang aku tempati—kamar kos yang berada di belakang kampus, kamar kos yang belum lama kutempati. Aku berjalan dengan
cepat, menarik travel bag-ku dengan
sisa-sisa tenaga. Lelah. Yang aku inginkan adalah segera merebahkan tubuh ini
ke atas kasur di kamar kost-ku.
Sebentar
lagi. Pintu gerbang tempat kostku telah terlihat. Mendadak semangat yang
tadinya meluap kini kembali lagi. Aku mulai mempercepat langkahku dengan
setengah berlari dengan beban yang mesti kutarik. Mendadak travel bagku terasa begitu berat. Ah aku ingat. Hampir setengah
dari isinya ada oleh-oleh titipan temanku. Belum lagi dengan tentengan yang berada di sebelah tanganku. Setelah kembali
menutup gerbang tempatku mengekost aku segera menuju kamar kost-an nomor tiga
dari gerbang tersebut. Meletakkan travel
bag juga tentengan yang kubawa ke lantai, aku mulai mencari-cari kunci
kamarku pada tas bahu. Memutarnya kekiri hingga menimbulkan bunyi klik sebanyak dua kali dan dengan segera kutekan handle pintu sekaligus mendorongnya.
Pemandangan
yang pertama kali kulihat adalah kasurku yang tetap rapi. Dengan tergesa segera
ambil travel bag juga tentengan yang
teronggok di lantai. Membawanya masuk dan kembali meletakkannya di sudut dekat
pintu. Kasur. Entah kenapa benda itu menjadi sangat menggiurkan dimataku. Tanpa
aba-aba lagi langsung ku rebahkan tubuhku ke atas kasur. Ah… Rasanya nyaman sekali. Mataku menatap nyalang langit-langit kamarku yang
berwarna putih bersih. Tiduran seperti ini membuat pinggangku terasa nyeri
namun detik berikutnya berangsur-angsur melegakan. Rasa
nyaman itu perlahan membuatku
mengantuk. Mataku bagaikan diusap-usap oleh bulu halus, membuatnya sulit untuk
tetap tergaja. Yang kutahu, aku sudah terbang ke alam mimpi tanpa sempat
membersihkan diri.
#RFM4EST
Dentingan piano dari
lagu Every
Little Thing You Do mengalun lembut
juga samar-samar, membuat aku terjaga. Duduk dengan
setengah nyawa yang masih melalangbuana sambil meraba kasur di sisi yang kosong
tempat aku meletakkan ponselku dengan mata terpejam sebelah. Langit di luar
sudah berwarna hitam. Selama itukah aku tertidur?
Kembali suara personil westlife yang menyanyikan Every Little Thing You Do mengudara.
Membuatku langsung tersadar kalau kalau itu adalah telepon dari kekasihku. Lagu
yang sengaja kujadikan nada dering hanya untuknya. Buru-buru kusambar ponsel
yang ternyata berada di bawah bantal. Tanpa melihat lagi ID Caller yang tertera di sana, aku langsung menggeser icon telepon berwarna hijau ke arah
kanan.
“Hallo...”
“Hai...”
Uh,
bahkan mendengar suaranya dari seberang telepon seperti ini membuat nyawaku
langsung terkumpul semuanya. Membuat aku tanpa sadar tersenyum. Debaran yang
tidak asing lagi kembali terasa. Membuatku hafal betul debaran itu apa
penyababnya. “Baru
bangun ya?”
Tanpa sadar aku ngangguk. Namun detik berikutnya aku
sadar bahwa Dia tidak dapat melihatku. “Iya,” kataku masih dengan suara
mengantuk bahkan kuap yang kutahan tak mampu kututupi.
Di seberang sana dapat kudengar
kekehannya.
“Gimana perjalanan Bali-Cirebonnya?”
“Capek.”
Keluhku dan lagi-lagi kudengar kekehannya.
“Tapi seru, kan?”
“Banget!
Rasanya ngga mau pulang.”
“Terus kenapa pulang?” tanyanya.
“Takut
kamu nikung.”
Kali
ini bukan kekehannya yang kudengar. Melainkan suara tawanya yang begitu renyah
yang berhasil menggelitiki telingaku dan membuat aku tanpa sadar juga ikutan
tertawa.
“Masih
nggak percaya sama Aku?”
Aku
langsung terdiam saat menyadari perubaahan suaranya. Padahal beberapa detik
yang lalu kami masih saling tertawa—menertawakan jawabaku—dan kenapa sekarang
ia langsung berubah menjadi seperti ini? Kebiasaanku saat gugup kembali
mendera. Membuatku tanpa sadar menggigit-gigiti kukuku yang lumayan panjang
ini.
Dengan
gugup kujawab pertanyaannya, “Percaya kok.”
Dan
detik berikutnya yang kudengar adalah suara tawanya kembali. Tawa keras yang
membuatku sadar kalau dia mengerjaiku. Dengan lirih aku mengumpat. Mengumpat
dirinya yang berhasil membuatku takut.
“Nggak lucu, Kak.”
“Haha iya... aduh maaf, Fy. Haha.”
Katanya sambil berusaha untuk menahan tawanya. “Segitu takutnya ya aku marah?”
“Nggak!
Biasa aja tuh.”
“Bohong dosa loh, yang.”
“Yaemang.”
“Fy...,”
“Hmm.”
“Abi
sono ka anjeun (Aku kangen kamu).”
Blushhh… Aku merasakan aliran darahku
berkumpul dikedua pipiku. Wajahku terasa panas. Aku hanya diam. Tidak mampu
mengatakan apapun –terlalu gugup—
“Aku
yakin muka kamu sekarang merah.” Kekehan gelinya sangat
jelas tertangkap oleh indra pendengaranku.
“Besok jadi kan?” Aku
lebih baik mengalihkan topic pembicaraan ini, daripada aku harus mendengarnya
menggodaku. Bukan tidak suka –aku hanya terlalu malu—
“Besok
aku jemput jam 8 ya.”
“Oke. Aku tutup ya Kak,”
“Iya
Fy. Love you.”
“Me too.”
Klik
–aku
mematikan sambungan telpon kami. Segera aku bergegas menuju kamar mandi. Huhh
rasanya badanku ini habis dibubuhi lem –lengket sekali.—
#RFM4EST
Esok harinya..
Aku
udah didepan kosan kamu.
Aku setengah
berlari menuju depan pintu gerbang. Nafasku terengah. Jantungku berpacu dengan
cepat dan semakin cepat saat aku melihatnya. Dia laki – laki yang aku rindukan.
Diam. Hanya diam setelah
berada tepat di hadapannya. Hanya sepersekian detik aku sudah berada dalam
rengkuhan hangatnya. Rengkuhan yang selalu aku rindukan. Aku membalas
pelukannya. Menenggelamkan kepalaku pada dada bidangnya. Ku hirup dalam –dalam
aroma –khas—yang selalu membuatku tenang. Yang selalu membuatku enggan untuk
berada jauh darinya.
“Mana oleh olehnya?” Tanya dia setelah melepas
pelukannya.
“Hih! Datang – datang
lain nayakeun naon ke. Kalah langsung nanya oleh – oleh (Hih! Dateng – dateng
bukannya nanya apa gitu, malah langsung nanya oleh oleh)”
“Hehe heureuy neng
(Becanda neng)” Dia nyengir lebar menunjukan deretan giginya yang putih dan rapih.
“Ah kumaha maneh we lah. Gewat langsung amengan kan? (Ah
terserah kamu aja deh. Ayok langsung jalan kan?)”
Dia hanya menganggukan kepala dan aku segera
menaiki motor matic nya. Dia
menyerahkan helm berwarna biru langit padaku, dengan kecepatan sedang matic yang kami naiiki mulai membelah
keramaian jalanan Kota Udang, Cirebon.
#RFM4EST
Sepanjang
perjalanan hanya beberapa percakapan yang kami lakukan. “Biarin Kak Rio focus
nyetir deh.” Pikirku. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 1jam, Dia
membawaku memasuki jalanan kompleks –lumayan sepi— Aku terperangah saat Dia
membawa maticnya memasuki area wisata
Cibulan. “Kakak ngajak aku renang ya? Ih kenapa gak ngomong dulu sih? Kan aku
gak bawa baju ganti.” Aku merengut kesal kearahnya.
Dia
terkekeh “Ify sayang, emang kalau kita ke Cibulan harus mesti kudu, wajib,
renang, ya? Hm?”
“Eh?” Aku diam. Malu.
“Nggak juga sih Kak”
“Jangan
malu – malu gitu Fy. Kayak anak belatung tauk”
Aku
kaget mendengar ucapannya. Apa – apaan aku disamain sama anak belatung? Aku
mendongkak menatap wajahnya dan memasang tatapan membunuh. Dia hanya menaikan
sebelah alisnya. “Jangan ngambek Fy. Ntar aku ajak ke KUA deh.”
Aku melotot “Febrio
Arsyan!”
“Hahaha…kamu
lucu Fy” Dia tertawa renyah. Kesal. Aku langsung berjalan –sambil menghentakakn
kakiku—kearah pintu masuk Cibulan.
Aku
berjalan perlahan di samping arena kolam Cibulan. Cibulan ini memiliki 3 kolam
dengan kedalaman yang beragam. Air dikolam Cibulan dialiri langsng oleh air
pengunungan Ciremai. Bisa dibayangkan dinginnya seperti apa? Disetiap kolam
banyak –ratusan-- berisi Ikan Dewa, tetapi ketika berenang ikan ini tidak akan
bersentuhan dengan bagian tubuh kita. Aneh bukan? Padahal dari permukaan kolam,
ikan ini terlihat sangat dan banyak. Yang lebih membuatku heran, pada saat kolam
ini dikuras ikan tersebut menghilang –dan akan muncul seelah kolam tersisi air
kembali.
Aku mersakan rengkuhan
di bahu kakanku. Tanpa menolehpun aku sudah hafal dengan aroma khasnya. Aku
mengedarkan pandanganku –masih sama seperti dulu—“Lagi flashback ya” suara Kak Rio membuatku mengalihkan pandangan
kearahnya.
“Iya
kak. Kakak tahu sendiri kan aku kesini waktu SMP. Dan pertama kali ketemu Kakak
disini.” Aku menjawab sambil menerawang jauh. Mengingat bagaimana pertemuan
pertama kita disini.
“Iya
Kakak juga masih ingat. Fy, masuk ke sana yuk?” aku mengikuti arah pandangnya Ah
Dia mengajakku ke wisata Tujuh Sumur.
Hanya
tidak sampai 5menit kita sudah berada di wisata Tujuh Sumur. Tempatnya tidak
terlalu luas. Agak menyerupai lingkaran –ya lingkaran yang dikelilingi oleh
Tujuh Sumur tersebut. Disetiap sumur terdapat tulisan mengenai khasiat air
sumurnya. Aku baru tahu ternyata disetiap sumur mempunyai khasiat yang berbeda.
Dia mengenggam tanganku dengan lembut dan kami mulai mengelilingi satu persatu
ketujuh sumur tersebut.
Aku
memasang wajah cengo saat melihat
tulisan yang tertera disumur ke tujuh Khasiat
Sumur ke Tujuh: Enteng Jodoh. Astaga aku menggelengkan kepalaku perlahan “ada – ada saja khasiatnya.”
“Fy,
ajak Ana kesini gih. Suruh cuci muka disumur ke tujuh. Biar jodohnya enteng,
gak berat – berat berat amat.”
“Ide
bagus kak” kemudian tawa kami pecah bersama.
#RFM4EST
“Kita
mau kemana lagi kak?” Nada suara aku naikan, untuk melawan angin yang berhembus
kencang –saat ini kita berada diatas maticnya—setelah
keluar dari area Tujuh Sumur Kak Rio memang langsung mengajakku ke tempat
selanjutnya.
“Nanti
juga kamu tahu Fy. Cukup diam dan pengangan yang kuat.”
Hhh.. aku menghela nafas. Baiklah saat
seperti ini lebih baik menuruti perintahnya daripada berdebat diatas motor.
Aku
tersenyum saat melewati jalanan yangg terus menanjak yang tidak terlalu besar.
Memandang kagum kearah sisi jalan. Disepanjang jalan yang dilalui terdapat
hamparan perkebunan sayur yang luas. Semakin menanjak dan hawa pengunungan
semakin terasa. Aku semakin mengeratkan cardigan merah maroon yang aku pakai.
Senyumku
semakin mengembang saat membaca tulisan “PALUTUNGAN”. Palutungan tempat pertama
kali aku dan Dia pergi berdua. Kami memang lebih menyukai pergi ke tempat seperti
ini dari pada harus berbelanja-ria di mall
atau sekedar hangout di café.
Kak Rio mengajakku mengelilingi area
Palutungan. Mulai dari taman dan air terjun. Untuk memasuki area air terjun
memang kita harus menuruni puluhan tangga yang menurun. Untuk menurun memang
tidak masalah, tapi untuk kembali ke tempat awal? Kita harus menaiki tangga
tersebut. “Hahaha…” tawaku pecah saat melihat Kak Rio duduk dipertengahan
tangga dan mengatur nafasnya yang terengah.
“Kamhu..ja..ngan
ngetawain kaka hah.” Kak Rio berucap seperti sedang main kejar kejaran dengan
nafasnya sendiri.
“Hahaha
maklum kok udah aki – aki.”
“Ify!”
“Ya
ampun Kak. Marah – marah mulu sih. Hormone menopause ya?”
“Raisya
Dhafira Azzahra!” Aku berusaha menghentikan tawaku dan mengajak Kak Rio kembali
ke atas, ngeri juga kalau Dia udah manggil dengan nama lengkap, “Ayok ah
lanjut.”
#RFM4EST
Kak
Rio menuntunku untuk duduk di atas batang pohon yang besar. Sepertinya disini
sengaja arena duduk memang dbuat dari batang pohon yang besar. Aku mengeratkan
cardigan yang aku pakai. Hawa pegunungan semakin menusuk kulitku. Palutungan
memang berada tepat dikaki gunung Ciremai.
“Dingin Fy?” Tanya Kak Rio
“Siapa
yang bilang panas?”
“Itu
kamu barusan” Jawab Kak Rio santai
“Aaaa
Kak Rio” Aku merengut kesal melipat
tanganku didepan dada.
“Marah?”
Dasar cowok gak peka banget. Udah tau marah masih nanya juga?
Dia
berdiri dan mengulurkan tangannya dihadapanku, aku hanya mengerutkan kedua
alisku. Heran. “Ikut Kakak. Dijamin marahnya cepet sembuh.” Aku hanya
membalasnya dengan cibiran malas, namun tetap aku menyambut uluran tangannya
–hangat yang aku rasakan-- dan ikut berjalan mengikuti langkahnya.
Dia
mengajaku menaiiki sebuah bukit yang tidak jauh dari Palutungan. “Wow!” Hanya
kata itu yang mampu aku ucapkan saat kami telah sampai diats bukit. Disini aku
bisa melihat seluruh Kota Kuningan bahkan sebagian Kota Cirebon. Angin yang
berhembus mengibarkan rambut panjang yang sengaja aku gerai. “Masih marah?”
Suaranya semakin kembut saat mengayun bersama angin. Aku menggeleng antusias.
Dia
memutar tubuhku dan kini kami berhadapan. Tangannya menggenggam tanganku
lembut. “Fy..” Dia memanggilku dengan nada tegas namun lembut. Aku mendongkak
menatap matanya. Aku melihat keseriusan disana. Perasaanku mulai tidak karuan.
Takut, tegang dan gugup.
“Ify,
suatu saat nanti jika aku tidak berakhir bersama kamu ataupun sebaliknya kamu tidak
berakhir bersamaku. Kamu harus tahu, kalau kamu tetap pemenang dihatiku. Kamu
tetap menempati posisi tertinggi dihatiku.”
Mataku
mulai memanas mendengar kalimatnya. Aku takut. Takut jika itu semua terjadi. “Kak..”
aku langsung menghampur kepelukannya. Tangisku pecah. Tuhan biarkan semuanya seperti ini..
#RFM4EST
Ketika
matahari mulai tenggelam diperaduannya kami sampai di pusat Kota Kuningan. Ini
tempat tujua akhir kami. Mataku berbinar terkena pantulan cahaya lampu taman
kota. Mataku menatap nyalang kearah patung yang berukuran besar. Berdiri tegak
di tengah – tengah kota. Patung Kuda Jengke –Patung Kuda berdiri tegak dengan
kaki diangkat satu keatas—Kuda Jengke memang merupakan icon dari Kota Kuda, Kota Kuningan. Aku menghitup udara dalam –
dalam. Ah.. udara Kota Kuda memang selalu sejuk. Tidak heran Kota ini punya
julukan Kuningan ASRI –Aman, Sehat, Rindang, dan Indah—
Dia
mengajakku duduk disalah satu bangku taman. Menghadap langsung ke arah air
mancur yang terdapat di tengah – tengah taman. “Kakak Ify mau jajan.”
“Hadeuh
sangka teh geus kuliah resep jajan na leungit. Masih bae ning (Aduh kira kalau
udah kuliah hobby jajannya hilang,
ternyata masih).”
“Bodo
ih. Aku mau gehu beledag, cilok stun,
nasi batok, sama serabi rasa.”
“Heh
satu aja Fy. Gak abis sayang makanan dibuang. Kakak beliin gehu aja ya. Tunggu
disini.” Aku mengangguk.
Tidak
sampai 10menit Dia kembali membawa bungkusan yang berisi gehu –tahu dengan
dengan isi 90% sambal dan 10% sayuran—Pedesnya pooll deh hahaha.
“Kakak
gak mau tahunya kak?” aku bertanya --sambil menyodorkan tahu kearahnya. Karena
dari tadi hanya aku yang memakan Tahu. Dia hanya minum minuman isotonic.
“Enggak.
Lagian itu bukan tahu pake sambel, tapi sambel pake tahu.” Jawabannya membuatku
tertawa lepas.
Drtt…
Drtt..
Dering
ponesl membuat menghentikan tawaku. Aku merogoh benda canggih itu disaku celana
jins. Aku melihat ID caller. Ibu.
“Angkat aja. Speaker ya aku mau
denger suara ibu mertuaku” aku melengos.
Dia
terkekeh pelan.
Segera
ku geser icon warna hijau kea rah
kanan.
“Iya
bu…”
“…”
“Ify
lagi sama Kak Rio bu.”
“….”
“Ta…tapi
bu”
“…”
“Iya
bu.”
Klik aku
mematikan sambungan telpon dengan Ibu. Aku melihat Kak Rio. Dia diam. Wajahnya
tanpa ekspresi namun aku melihat luka dimatanya. Aku menunduk, mataku mulai
memanas. Ya Tuhan inikah akhir segalanya?
Atau hanya ujian untuk hubungan kami?
“Kak..”
aku memanggilnya dengan lirih
Dia
tersenyum. “Pulang yuk Fy. Udah malem” Dia bangkit dari duduknya dan melangkah
menuju matic yang diparkir di sebelah
kanan taman. Aku menghela nafas dalam. Menghapus setitik air mata yang telah
meluncur indah.
Perjalan
pulang terasa menyesakkan. Kami hanya diam. Tidak ada kata yang keluar dari
mulut kami. Aku merenung, Satu sisi aku ingin menjadi anak yang berbakti yang
menuruti apa keninginan orang tua, disisi lain aku terlalu menyayangi laki
–laki ini. Lagi – lagi aku mengehela nafas. Bingung keputusan apa yang harus
aku ambil. “Udah sampai Fy.” Ucapan Kak Rio membuyarkan lamunanku. Aku menoleh,
ternyata benar aku sudah sampai didepan gerbang rumahku. Aku segera turu dari maticnya.
“Kak
Rio.”
“Aku
tau kamu bingung Fy.” Aku diam. Kak Rio berdiri dihadapanku. Mengenggam kedua tanganku.
“Maafkan aku yang belum bisa menjadi seperti yang Ibu pingin, maaf belum bisa
menjadi laki – laki yang..”
“Kak
Cukup!” Aku memotong ucapannya. Air mataku sudah meluncur membentuk sungai
dikedua pipiku.
“Fy,
ini bukan hanya masalah materi, ini juga masalah ‘keyakinan kita’. Maaf Fy,
maaf. Dan mungkin ini yang terbaik. Kamu ingatkan kata – kata kakak di bukit tadi”
Aku mengangguk.
Kak Rio mengecup keningku lama. Air mataku
semakin deras saat ku rasakan air matanya jatuh diatas keningku. Dia memeluku
erat. Inikah pelukan terakhirnya?
“I will always love you Raisya Dhafira
Azzahra” bisiknya lembut dekat telingaku. Dia melepaskan pelukannya. Dia pergi.
Pergi dengan membawa cinta yang dulu ada.
Inilah
akhirnya.. ternyata terlalu curam jurang pemisah antara kau dan aku..
#RFM4EST
Nama
: Ginia Ariandini (@GiniaAR_ )
RFM,
Kuningan-Jabar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar