Jumat, 07 November 2014

GINIA ARIANDINI CHUNDORY @GiniaAR_ [RFM KUNINGAN]



(Panginten) Ieu Anu Langkung Sae
“(Mungkin) Ini Yang Terbaik”

Karena aku tahu, kaulah yang membuatnya menjadi lebih indah…

Suara deru mesin bus  yang melaju membelah jalan mulai mengusik tidurku. Perlahan ku buka kedua mataku. Beberapa kali aku mengerjap menyesuaikan sinar matahari yang terpantul dari jendela bis.
Dan kini roda–roda bus itu masih tetap berputar membawa kami–rombongan study tour- kembali ke kota kami, Cirebon. Setelah kedua mataku terbiasa dengan sinar mentari, Aku mulai berdiri meregangkan badanku yang begitu kaku. Bukan hal mudah apalagi enak tidur di kursi bus yang begitu sempit. Aku harus tetap terduduk meskipun aku sudah tenggelam dalam mimpiku.
Gusti ieu awak ni pegel pisan sih (Tuhan ini badan pegel banget), keluhku dalam hati.
Setelah dirasa cukup peregangan yang ku lakukan, Aku kembali duduk. Aku menoleh kursi disebelahku. Aku meminta pada sahabat ku –Peliana Scania—untuk bertukar tempat denganku. Entah kenapa aku ingin menikmati setiap jalan yang aku lalui. Sambil menopang wajah dengan tangan kananku pada pinggiran jendela, aku menatap setiap kendaraan yang melaju. Jalan dalam tol Kanci.
Semakin bus melaju dengan cepat, semakin cepat pula debaran jantungku. Beberapa saat lagi aku akan bertemu dengannya. Kekasihku. Laki – laki yang berhasil membuat hari – hariku lebih berwarna selama 6tahun ini. Membayangkan pertemuan seperti apa yang akan terjadi. Akankah aku yang menghampirinya saat aku melihatnya? Atau menunggunya yang menghampiriku?
Membayangkannya membuatku bergidik ngeri. Teringat adegan FTV yang biasa aku lihat.
“Fy, ayok siap–siap udah mau sampe nih.” Suara Ana membuyarkan lamunan ku.
Aku hanya mengangguk perlahan. Mulai mengemasi beberapa barang yang tergeletak di samping tubuhku dan memasukannya ke tas bahu.
           
Drttt… Drtt…
Sebuah getar yang berasal dari ponsel yang berada di saku celana jins, membuatku menghentikan kegiatanku memasukkan powerbank—yang kudapati berada diselipan kursi. Aku mengambil Handphone touchscreen dan membuka pesan yang masuk.

Hey sayang sudah sampe dimana? Aku hari ini ada kerjaan di kantor, aku jemput kamu besok pagi  ya J  sekalian jalan. kamu istirahat aja dulu di kosan :*

Aku tersenyum membaca isi pesan darinya. Perhatian kecil seperti inilah yang selalu menemaniku setiap waktu. Perhatian yang membuatku semakin jatuh ke dalam pelukan hatinya dan juga perasaan cinta yang setiap saat selalu tumbuh kembang menjadikan akarnya semakin kuat juga dalam dan semakin terpatri di dalam hatiku. Laki-laki ini selalu berhasil membuatku jatuh cinta setiap harinya. Setelah dirasanya cukup untuk bersemu merah dan membayangkan dirinya yang selalu berefek sama pada tubuhku—yaitu berdebarnya jantungku dengan menggila, segera aku membalas pesannya. Menggerakan jari lincahku diatas keypad.

Aku udah keluar tol Kanci. Oke :) kerja yang bener ya! :*

Setelah membalas pesannya aku kembali memasukan benda canggih itu kedalam tas. Tak berapa lama supir bus pariwisata pun memberitahu kami bahwa bus telah sampai di area kampus. Hal pertama yang kulihat saat bis memasuki arena kampus adalah keriuhan para orangtua yang menjemput anak-anaknya. Menunggu di lobi depan kampus sambil berbincang satu sama lain.
Aku menghela napas. Seandainya kedua orangtuaku berada di sini. Seandainya saat ini aku tinggal bersamanya. Namun sayang... kenyataannya aku tinggal berjauhan dengan mereka. Ternyata beginilah nasib anak kost sepertiku. Walau nyatanya bukan hanya diriku yang bernasib serupa, namun tetap saja perasaan sesak menghampiri. Saat kurasa genangan airmata mulai membasahi mata, aku langsung mendongak. Menghalaunya agar tidak jatuh.
Entah kenapa mendadak perasaanku menjadi sentiment seperti ini. Mungkin karena akumulasi perasaan rindu yang terlalu mendalam kepada keluargaku yang berada di Bintaro, juga dengan laki-laki yang selama 6 tahun ini menjadi bagian terpenting di kehidupanku. Setelah berulang kali menarik juga menghembuskan napas untuk menenangkan gejolak rindu yang mendadak muncul, aku beranjak turun. Mengambil travel bag-ku yang berada di bagasi bus juga beberapa tentangan oleh-oleh yang kubeli saat di Bali.
            Setelah memastikan tak ada barang yang tertinggal aku berjalan menuju kamar kos yang aku tempati—kamar kos yang berada di belakang kampus, kamar kos yang belum lama kutempati. Aku berjalan dengan cepat, menarik travel bag-ku dengan sisa-sisa tenaga. Lelah. Yang aku inginkan adalah segera merebahkan tubuh ini ke atas kasur di kamar kost-ku.
Sebentar lagi. Pintu gerbang tempat kostku telah terlihat. Mendadak semangat yang tadinya meluap kini kembali lagi. Aku mulai mempercepat langkahku dengan setengah berlari dengan beban yang mesti kutarik. Mendadak travel bagku terasa begitu berat. Ah aku ingat. Hampir setengah dari isinya ada oleh-oleh titipan temanku. Belum lagi dengan tentengan yang berada di sebelah tanganku. Setelah kembali menutup gerbang tempatku mengekost aku segera menuju kamar kost-an nomor tiga dari gerbang tersebut. Meletakkan travel bag juga tentengan yang kubawa ke lantai, aku mulai mencari-cari kunci kamarku pada tas bahu. Memutarnya kekiri hingga menimbulkan bunyi klik sebanyak dua kali dan dengan segera kutekan handle pintu sekaligus mendorongnya.
Pemandangan yang pertama kali kulihat adalah kasurku yang tetap rapi. Dengan tergesa segera ambil travel bag juga tentengan yang teronggok di lantai. Membawanya masuk dan kembali meletakkannya di sudut dekat pintu. Kasur. Entah kenapa benda itu menjadi sangat menggiurkan dimataku. Tanpa aba-aba lagi langsung ku rebahkan tubuhku ke atas kasur. Ah… Rasanya nyaman sekali. Mataku menatap nyalang langit-langit kamarku yang berwarna putih bersih. Tiduran seperti ini membuat pinggangku terasa nyeri namun detik berikutnya berangsur-angsur melegakan. Rasa nyaman itu perlahan membuatku mengantuk. Mataku bagaikan diusap-usap oleh bulu halus, membuatnya sulit untuk tetap tergaja. Yang kutahu, aku sudah terbang ke alam mimpi tanpa sempat membersihkan diri.

#RFM4EST

            Dentingan piano dari lagu Every Little Thing You Do mengalun lembut juga samar-samar, membuat aku terjaga. Duduk dengan setengah nyawa yang masih melalangbuana sambil meraba kasur di sisi yang kosong tempat aku meletakkan ponselku dengan mata terpejam sebelah. Langit di luar sudah berwarna hitam. Selama itukah aku tertidur?
            Kembali suara personil westlife yang menyanyikan Every Little Thing You Do mengudara. Membuatku langsung tersadar kalau kalau itu adalah telepon dari kekasihku. Lagu yang sengaja kujadikan nada dering hanya untuknya. Buru-buru kusambar ponsel yang ternyata berada di bawah bantal. Tanpa melihat lagi ID Caller yang tertera di sana, aku langsung menggeser icon telepon berwarna hijau ke arah kanan.
             “Hallo...
Hai...
Uh, bahkan mendengar suaranya dari seberang telepon seperti ini membuat nyawaku langsung terkumpul semuanya. Membuat aku tanpa sadar tersenyum. Debaran yang tidak asing lagi kembali terasa. Membuatku hafal betul debaran itu apa penyababnya. “Baru bangun ya?”
            Tanpa sadar aku ngangguk. Namun detik berikutnya aku sadar bahwa Dia tidak dapat melihatku. “Iya,” kataku masih dengan suara mengantuk bahkan kuap yang kutahan tak mampu kututupi.
            Di seberang sana dapat kudengar kekehannya.
Gimana perjalanan Bali-Cirebonnya?
“Capek.” Keluhku dan lagi-lagi kudengar kekehannya.
Tapi seru, kan?”
“Banget! Rasanya ngga mau pulang.”
Terus kenapa pulang?” tanyanya.
“Takut kamu nikung.”
Kali ini bukan kekehannya yang kudengar. Melainkan suara tawanya yang begitu renyah yang berhasil menggelitiki telingaku dan membuat aku tanpa sadar juga ikutan tertawa.
Masih nggak percaya sama Aku?
Aku langsung terdiam saat menyadari perubaahan suaranya. Padahal beberapa detik yang lalu kami masih saling tertawa—menertawakan jawabaku—dan kenapa sekarang ia langsung berubah menjadi seperti ini? Kebiasaanku saat gugup kembali mendera. Membuatku tanpa sadar menggigit-gigiti kukuku yang lumayan panjang ini.
Dengan gugup kujawab pertanyaannya, “Percaya kok.”
Dan detik berikutnya yang kudengar adalah suara tawanya kembali. Tawa keras yang membuatku sadar kalau dia mengerjaiku. Dengan lirih aku mengumpat. Mengumpat dirinya yang berhasil membuatku takut.
 “Nggak lucu, Kak.”
Haha iya... aduh maaf, Fy. Haha.” Katanya sambil berusaha untuk menahan tawanya. “Segitu takutnya ya aku marah?
“Nggak! Biasa aja tuh.”
Bohong dosa loh, yang.”
“Yaemang.”
Fy...,”
“Hmm.”
Abi sono ka anjeun (Aku kangen kamu).
 Blushhh… Aku merasakan aliran darahku berkumpul dikedua pipiku. Wajahku terasa panas. Aku hanya diam. Tidak mampu mengatakan apapun –terlalu gugup—
“Aku yakin muka kamu sekarang merah.” Kekehan gelinya sangat jelas tertangkap oleh indra pendengaranku.
“Besok jadi kan?” Aku lebih baik mengalihkan topic pembicaraan ini, daripada aku harus mendengarnya menggodaku. Bukan tidak suka –aku hanya terlalu malu—
“Besok aku jemput jam 8 ya.”
“Oke. Aku tutup ya Kak,”
“Iya Fy. Love you.”
“Me too.”
Klik –aku mematikan sambungan telpon kami. Segera aku bergegas menuju kamar mandi. Huhh rasanya badanku ini habis dibubuhi lem –lengket sekali.—


#RFM4EST

Esok harinya..

Aku udah didepan kosan kamu.
            Aku setengah berlari menuju depan pintu gerbang. Nafasku terengah. Jantungku berpacu dengan cepat dan semakin cepat saat aku melihatnya. Dia laki – laki yang aku rindukan.
Diam. Hanya diam setelah berada tepat di hadapannya. Hanya sepersekian detik aku sudah berada dalam rengkuhan hangatnya. Rengkuhan yang selalu aku rindukan. Aku membalas pelukannya. Menenggelamkan kepalaku pada dada bidangnya. Ku hirup dalam –dalam aroma –khas—yang selalu membuatku tenang. Yang selalu membuatku enggan untuk berada jauh darinya.
            “Mana oleh olehnya?” Tanya dia setelah melepas pelukannya.
“Hih! Datang – datang lain nayakeun naon ke. Kalah langsung nanya oleh – oleh (Hih! Dateng – dateng bukannya nanya apa gitu, malah langsung nanya oleh oleh)”
“Hehe heureuy neng (Becanda neng)” Dia nyengir lebar menunjukan deretan giginya yang putih dan rapih.
            “Ah kumaha maneh we lah. Gewat langsung amengan kan? (Ah terserah kamu aja deh. Ayok langsung jalan kan?)”
            Dia  hanya menganggukan kepala dan aku segera menaiki motor matic nya. Dia menyerahkan helm berwarna biru langit padaku, dengan kecepatan sedang matic yang kami naiiki mulai membelah keramaian jalanan Kota  Udang, Cirebon.

#RFM4EST

            Sepanjang perjalanan hanya beberapa percakapan yang kami lakukan. “Biarin Kak Rio focus nyetir deh.” Pikirku. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 1jam, Dia membawaku memasuki jalanan kompleks –lumayan sepi— Aku terperangah saat Dia membawa maticnya memasuki area wisata Cibulan. “Kakak ngajak aku renang ya? Ih kenapa gak ngomong dulu sih? Kan aku gak bawa baju ganti.” Aku merengut kesal kearahnya.
            Dia terkekeh “Ify sayang, emang kalau kita ke Cibulan harus mesti kudu, wajib, renang, ya? Hm?”
“Eh?” Aku diam. Malu. “Nggak juga sih Kak”
            “Jangan malu – malu gitu Fy. Kayak anak belatung tauk”
            Aku kaget mendengar ucapannya. Apa – apaan aku disamain sama anak belatung? Aku mendongkak menatap wajahnya dan memasang tatapan membunuh. Dia hanya menaikan sebelah alisnya. “Jangan ngambek Fy. Ntar aku ajak ke KUA deh.”
Aku melotot “Febrio Arsyan!”
            “Hahaha…kamu lucu Fy” Dia tertawa renyah. Kesal. Aku langsung berjalan –sambil menghentakakn kakiku—kearah pintu masuk Cibulan.
            Aku berjalan perlahan di samping arena kolam Cibulan. Cibulan ini memiliki 3 kolam dengan kedalaman yang beragam. Air dikolam Cibulan dialiri langsng oleh air pengunungan Ciremai. Bisa dibayangkan dinginnya seperti apa? Disetiap kolam banyak –ratusan-- berisi Ikan Dewa, tetapi ketika berenang ikan ini tidak akan bersentuhan dengan bagian tubuh kita. Aneh bukan? Padahal dari permukaan kolam, ikan ini terlihat sangat dan banyak. Yang lebih membuatku heran, pada saat kolam ini dikuras ikan tersebut menghilang –dan akan muncul seelah kolam tersisi air kembali.
Aku mersakan rengkuhan di bahu kakanku. Tanpa menolehpun aku sudah hafal dengan aroma khasnya. Aku mengedarkan pandanganku –masih sama seperti dulu—“Lagi flashback ya” suara Kak Rio membuatku mengalihkan pandangan kearahnya.
            “Iya kak. Kakak tahu sendiri kan aku kesini waktu SMP. Dan pertama kali ketemu Kakak disini.” Aku menjawab sambil menerawang jauh. Mengingat bagaimana pertemuan pertama kita disini.
            “Iya Kakak juga masih ingat. Fy, masuk ke sana yuk?” aku mengikuti arah pandangnya Ah Dia mengajakku ke wisata Tujuh Sumur.
            Hanya tidak sampai 5menit kita sudah berada di wisata Tujuh Sumur. Tempatnya tidak terlalu luas. Agak menyerupai lingkaran –ya lingkaran yang dikelilingi oleh Tujuh Sumur tersebut. Disetiap sumur terdapat tulisan mengenai khasiat air sumurnya. Aku baru tahu ternyata disetiap sumur mempunyai khasiat yang berbeda. Dia mengenggam tanganku dengan lembut dan kami mulai mengelilingi satu persatu ketujuh sumur tersebut.
            Aku memasang wajah cengo saat melihat tulisan yang tertera disumur ke tujuh Khasiat Sumur ke Tujuh: Enteng Jodoh. Astaga aku menggelengkan kepalaku perlahan “ada – ada saja khasiatnya.”
            “Fy, ajak Ana kesini gih. Suruh cuci muka disumur ke tujuh. Biar jodohnya enteng, gak berat – berat berat amat.”
            “Ide bagus kak” kemudian tawa kami pecah bersama.


#RFM4EST
            “Kita mau kemana lagi kak?” Nada suara aku naikan, untuk melawan angin yang berhembus kencang –saat ini kita berada diatas maticnya—setelah keluar dari area Tujuh Sumur Kak Rio memang langsung mengajakku ke tempat selanjutnya.
            “Nanti juga kamu tahu Fy. Cukup diam dan pengangan yang kuat.”
Hhh.. aku menghela nafas. Baiklah saat seperti ini lebih baik menuruti perintahnya daripada berdebat diatas motor.
            Aku tersenyum saat melewati jalanan yangg terus menanjak yang tidak terlalu besar. Memandang kagum kearah sisi jalan. Disepanjang jalan yang dilalui terdapat hamparan perkebunan sayur yang luas. Semakin menanjak dan hawa pengunungan semakin terasa. Aku semakin mengeratkan cardigan merah maroon yang aku pakai.
            Senyumku semakin mengembang saat membaca tulisan “PALUTUNGAN”. Palutungan tempat pertama kali aku dan Dia pergi berdua. Kami memang lebih menyukai pergi ke tempat seperti ini dari pada harus berbelanja-ria di mall atau sekedar hangout di café.
Kak Rio mengajakku mengelilingi area Palutungan. Mulai dari taman dan air terjun. Untuk memasuki area air terjun memang kita harus menuruni puluhan tangga yang menurun. Untuk menurun memang tidak masalah, tapi untuk kembali ke tempat awal? Kita harus menaiki tangga tersebut. “Hahaha…” tawaku pecah saat melihat Kak Rio duduk dipertengahan tangga dan mengatur nafasnya yang terengah.
            “Kamhu..ja..ngan ngetawain kaka hah.” Kak Rio berucap seperti sedang main kejar kejaran dengan nafasnya sendiri.
            “Hahaha maklum kok udah aki – aki.”
            “Ify!”
            “Ya ampun Kak. Marah – marah mulu sih. Hormone menopause ya?”
            “Raisya Dhafira Azzahra!” Aku berusaha menghentikan tawaku dan mengajak Kak Rio kembali ke atas, ngeri juga kalau Dia udah manggil dengan nama lengkap, “Ayok ah lanjut.”
#RFM4EST

            Kak Rio menuntunku untuk duduk di atas batang pohon yang besar. Sepertinya disini sengaja arena duduk memang dbuat dari batang pohon yang besar. Aku mengeratkan cardigan yang aku pakai. Hawa pegunungan semakin menusuk kulitku. Palutungan memang berada tepat dikaki gunung Ciremai.
 “Dingin Fy?” Tanya Kak Rio
            “Siapa yang bilang panas?”
            “Itu kamu barusan” Jawab Kak Rio santai
            “Aaaa Kak Rio” Aku merengut kesal melipat  tanganku didepan dada.
            “Marah?” Dasar cowok gak peka banget. Udah tau marah masih nanya juga?
            Dia berdiri dan mengulurkan tangannya dihadapanku, aku hanya mengerutkan kedua alisku. Heran. “Ikut Kakak. Dijamin marahnya cepet sembuh.” Aku hanya membalasnya dengan cibiran malas, namun tetap aku menyambut uluran tangannya –hangat yang aku rasakan-- dan ikut berjalan mengikuti langkahnya.
            Dia mengajaku menaiiki sebuah bukit yang tidak jauh dari Palutungan. “Wow!” Hanya kata itu yang mampu aku ucapkan saat kami telah sampai diats bukit. Disini aku bisa melihat seluruh Kota Kuningan bahkan sebagian Kota Cirebon. Angin yang berhembus mengibarkan rambut panjang yang sengaja aku gerai. “Masih marah?” Suaranya semakin kembut saat mengayun bersama angin. Aku menggeleng antusias.
            Dia memutar tubuhku dan kini kami berhadapan. Tangannya menggenggam tanganku lembut. “Fy..” Dia memanggilku dengan nada tegas namun lembut. Aku mendongkak menatap matanya. Aku melihat keseriusan disana. Perasaanku mulai tidak karuan. Takut, tegang dan gugup.
            “Ify, suatu saat nanti jika aku tidak berakhir bersama kamu ataupun sebaliknya kamu tidak berakhir bersamaku. Kamu harus tahu, kalau kamu tetap pemenang dihatiku. Kamu tetap menempati posisi tertinggi dihatiku.”
            Mataku mulai memanas mendengar kalimatnya. Aku takut. Takut jika itu semua terjadi. “Kak..” aku langsung menghampur kepelukannya. Tangisku pecah. Tuhan biarkan semuanya seperti ini..

#RFM4EST

Ketika matahari mulai tenggelam diperaduannya kami sampai di pusat Kota Kuningan. Ini tempat tujua akhir kami. Mataku berbinar terkena pantulan cahaya lampu taman kota. Mataku menatap nyalang kearah patung yang berukuran besar. Berdiri tegak di tengah – tengah kota. Patung Kuda Jengke –Patung Kuda berdiri tegak dengan kaki diangkat satu keatas—Kuda Jengke memang merupakan icon dari Kota Kuda, Kota Kuningan. Aku menghitup udara dalam – dalam. Ah.. udara Kota Kuda memang selalu sejuk. Tidak heran Kota ini punya julukan Kuningan ASRI –Aman, Sehat, Rindang, dan Indah—
Dia mengajakku duduk disalah satu bangku taman. Menghadap langsung ke arah air mancur yang terdapat di tengah – tengah taman. “Kakak Ify mau jajan.”
“Hadeuh sangka teh geus kuliah resep jajan na leungit. Masih bae ning (Aduh kira kalau udah kuliah hobby jajannya hilang, ternyata masih).”
“Bodo ih. Aku mau gehu beledag, cilok stun, nasi batok, sama serabi rasa.”
“Heh satu aja Fy. Gak abis sayang makanan dibuang. Kakak beliin gehu aja ya. Tunggu disini.” Aku mengangguk.
Tidak sampai 10menit Dia kembali membawa bungkusan yang berisi gehu –tahu dengan dengan isi 90% sambal dan 10% sayuran—Pedesnya pooll deh hahaha.
“Kakak gak mau tahunya kak?” aku bertanya --sambil menyodorkan tahu kearahnya. Karena dari tadi hanya aku yang memakan Tahu. Dia hanya minum minuman isotonic.
“Enggak. Lagian itu bukan tahu pake sambel, tapi sambel pake tahu.” Jawabannya membuatku tertawa lepas.

Drtt… Drtt..
Dering ponesl membuat menghentikan tawaku. Aku merogoh benda canggih itu disaku celana jins. Aku melihat ID caller. Ibu. “Angkat aja. Speaker ya aku mau denger suara ibu mertuaku” aku melengos.
Dia terkekeh pelan.
Segera ku geser icon warna hijau kea rah kanan.
“Iya bu…”
“…”
“Ify lagi sama Kak Rio bu.”
“….”
“Ta…tapi bu”
“…”
“Iya bu.”
Klik aku mematikan sambungan telpon dengan Ibu. Aku melihat Kak Rio. Dia diam. Wajahnya tanpa ekspresi namun aku melihat luka dimatanya. Aku menunduk, mataku mulai memanas. Ya Tuhan inikah akhir segalanya? Atau hanya ujian untuk hubungan kami?
“Kak..” aku memanggilnya dengan lirih
Dia tersenyum. “Pulang yuk Fy. Udah malem” Dia bangkit dari duduknya dan melangkah menuju matic yang diparkir di sebelah kanan taman. Aku menghela nafas dalam. Menghapus setitik air mata yang telah meluncur indah.
Perjalan pulang terasa menyesakkan. Kami hanya diam. Tidak ada kata yang keluar dari mulut kami. Aku merenung, Satu sisi aku ingin menjadi anak yang berbakti yang menuruti apa keninginan orang tua, disisi lain aku terlalu menyayangi laki –laki ini. Lagi – lagi aku mengehela nafas. Bingung keputusan apa yang harus aku ambil. “Udah sampai Fy.” Ucapan Kak Rio membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, ternyata benar aku sudah sampai didepan gerbang rumahku. Aku segera turu dari maticnya.
“Kak Rio.”
“Aku tau kamu bingung Fy.” Aku diam. Kak Rio berdiri dihadapanku. Mengenggam kedua tanganku. “Maafkan aku yang belum bisa menjadi seperti yang Ibu pingin, maaf belum bisa menjadi laki – laki yang..”
“Kak Cukup!” Aku memotong ucapannya. Air mataku sudah meluncur membentuk sungai dikedua pipiku.
“Fy, ini bukan hanya masalah materi, ini juga masalah ‘keyakinan kita’. Maaf Fy, maaf. Dan mungkin ini yang terbaik. Kamu ingatkan kata – kata kakak di bukit tadi” Aku mengangguk.
 Kak Rio mengecup keningku lama. Air mataku semakin deras saat ku rasakan air matanya jatuh diatas keningku. Dia memeluku erat. Inikah pelukan terakhirnya?
I will always love you Raisya Dhafira Azzahra” bisiknya lembut dekat telingaku. Dia melepaskan pelukannya. Dia pergi. Pergi dengan membawa cinta yang dulu ada.
Inilah akhirnya.. ternyata terlalu curam jurang pemisah antara kau dan aku..

#RFM4EST
Nama : Ginia Ariandini (@GiniaAR_ )
RFM, Kuningan-Jabar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar